NU KETAPANG - Musim
kampanye 2019 telah berlalu, pesta rakyat telah usai dan para juara telah
terpilih. Akan tetapi akrobat politik terus berjalan. Bagaikan pesepakbola dari
negeri samba para politikus meliuk liuk membawa bola yang sulit diterka arah
berlarinya untuk menceploskan gol sebagai tujuan akhirnya.
Seorang magicion atau pesulap
selalu menutupi trik trik sulapnya untuk mengelabuhi para penonton. Dengan
gerakan misterius mereka mampu menghipnotis dan menampilkan adegan yang
spektakuler.
Bila di serupakan antara
pesepakbola, pesulap dan politisi ada unsur kesamaannya, yaitu sama sama
menggunakan taktik, strategi dan trik untuk mencapai tujuannya.
Masih segar dalam ingatan kita
kemarin tatkala terjadi polarisasi yang kejam di jagat perpolitikan negeri ini
baik di dunia maya atau didunia nyata. Bangsa ini berubah menjadi bangsa
pencaci, pembenci dan pengumpat sesama anak bangsa. Ternyata sumbernya adalah
gesekan para politisi dalam menebar strategi untuk memperoleh kue kekuasaan.
Berbagai macam propaganda
terpampang secara masif dan terstruktur yang meghanyutkan seluruh elemen bangsa
baik kalangan rakyat jelata, pengusaha, kaum akademisi sampai orang yang menyandang gelar ulama.
Manuver dagangan ideologi sampai fatwa pun begitu deras mewarnai kontestasi
waktu itu. Proyek mobilisasi masa sampai mendongkrak nama para para dai muda
dengan diviralkan berbagai media di gelontorkan untuk menggiring opini masa
sesuai tujuan yang tersembunyi. Slogan slogan bernuansa SARA pun bertebaran
untuk memperkuat opini publik ternyata mampu membius bangsa ini.
Akan tetapi begitu pertunjukan
itu selesai, para politisi itu mulai merubah haluan bahtera keluar dari paradigma
yang selama ini dibangun. Demi memperoleh jatah kue kekuasan banyak yang
menjilat ludah sendiri untuk tujuan pragmatis.
Memang ada sebuah slogan yang
menyatakan "dalam dunia politik, tidak ada lawan dan kawan yang abadi.
Yang ada hanyalah "kepentingan abadi". Mereka yang tadinya selalu
berdebat dengan sengit, sekarang mereka acara makan makan bersama dengan
bingkai semu "rekonsiliasi anak bangsa".
Pelacuran sikap politik itu
dilakukan tanpa harus malu lagi, yang penting dapat jatah dari dagang sapi kekuasaan.
Mendekati dilantik nya sang juara
kontestasi, membangkitkan selera makan bagi para politisi memperoleh sesuap
hidangan kabinet, BUMN dan lembaga negara untuk amunisi di pertempuran 2024
nanti.
Para putra mahkota mulai
disiapkan untuk gawe besar di masa akan datang. Memang belum tampak secara
gamblang strategi dan para putra mahkota itu. Akan tetapi kemungkinan masih
menggunakan pola lama yang di anggap sukses kemarin untuk membius para pemilih.
Jikalau periode yang lalu proyek
besarnya adalah dengan meracuni ideologi dan pendongkrakan para dai muda
didunia maya dan di panggung panggung, sekarang polanya adalah dengan istilah
memelihara "adipati kebo kenanga" untuk meruntuhkan pengaruh dan
wibawa raden patah penguasa sah di negeri demak bintoro.
Para politikus ulung yang
didukung para kelompok yang berjiwa "bughot"(pemberontak) rame rame
memviralkan "adipati kebo kenongo gubenur ditanah betawi untuk dijadikan
sebagai jago baru di 2024. Setelah di 2019 ini strategi sengkuni hancur berantakan
dalam perang "bharata yuda 2019".
Itulah politik, yang muncul
adalah fatamorgana saja. Kemarin saling benci dan mencaci sekarang saling puji
dan bagi bagi kursi. Yang tidak dapat kebagian kursi melakukan aksi sendiri
dengan judul "Sandiwara politisi di negeri gatot kaca". Semoga
atraksi para politisi untuk memperoleh kursi tidak menimbulkan polarisasi lagi
di tahun tahun mendatang sampai 2024. Cukup sudah rakyat terluka kemarin.
Setelah rekonsiliasi ini semoga tidak ada lagi yang memanas manasi lagi demi
mendapatkan kursi. Yang membuat anak bangsa menjadi saling caci, membenci dan
demontrasi.
Melajulah bangsa ku, jangan bocor
dan tenggelam oleh para politisi yang memainkan "Sandiwara politik di
negeri gatot kaca ini".
Penulis Iman Setiadi, S.Ag
Wakil Katib PCNU Ketapang