NU KETAPANG - Beberapa
hari yang lalu, tepatnya tanggal 16 Juni 2020, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
telah menyatakan sikap mengenai rumusan draft RUU Haluan Ideologi Pancasila
(HIP) dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam Pengambilan Keputusan atas
Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020. Pernyataan sikap itu dikeluarkan
setelah melakukan pengkajian secara mendalam dan mencermati dengan seksama
dinamika yang berkembang di masyarakat.
PBNU
memandang, bahwa Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan
penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan
dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya
pada 18 Agustus 1945.
RUU HIP dinilai
NU dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis
politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding
fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang
polemis. Kemudian, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas
tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus.
Dengan
dikeluarkannya sikap PBNU itu, menandakan sekaligus menunjukan sikap tegas
Nahdaltul Ulama (NU), bahwa NU tidak akan pernah main-main dengan siapapun kepada
mereka yang akan mengutak-atik Pancasila, apalagi bagi mereka yang berniat akan
mengganti Pancasila dari negara ini. Oleh karena itu, segala ikhtiar untuk
mengawal, melestarikan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa,
dasar negara, dan konsensus nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah
ancaman ideologi transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa
dan persatuan nasional.
Sejarah
telah mencatat dan membuktikan atas komitmen NU dengan Pancasila yang tidak
perlu diragukan lagi. Ketika banyak kalangan termasuk banyak tokoh berharap agar
NU menolak Asas Tunggal Pancasila, malah harapan mereka itu menjadi kandas,
karena NU memutuskan dan bahkan menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila
sebagai Asas Tunggal. Keputusan tersebut diambil dalam Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo, Jawa Timur Desember 1983 setelah melalui proses perdebatan sangat
sengit dan tajam.
Menjadi beda
ketika NU dalam menyikapi persoalan politik dan isu agama, termasuk hadirnya
gerakan kelompok sebagai reaksi atas isu munculnya Partai Komunis Insonesia
(PKI) akhir-akhir ini. Ketika mereka di luar sana meneriakan dengan lantang sebagai
perlawanan atas munculnya PKI yang diisukan itu, malah justru NU bersikap
biasa-biasa saja. Banyak kalangan menilai miring dengan sikap NU, yang dianggap
dingin dalam merespons persoalan umat menurut versi mereka, yang banyak
disuarakan oleh kelompok di luar NU.
Dengan sikap
yang dipilih NU itu, jangan heran ketika ada tuduhan bahwa NU berada dibarisan
PKI. Bahkan beberapa ulama NU juga tidak luput dari tuduhan mereka sebagai ulama
PKI. NU memang tampil beda dan berbeda dengan lainnya. NU memiliki cara sendiri
dalam merespon persoalan umat. NU bukan organiasi kemaren sore yang baru lahir.
NU bisa membedakan dan memilah mana gerakan yang murni untuk kemaslahatan umat
dan mana gerakan propaganda dengan memanfaatkan momen berbagai isu atas
persoalan umat dan bangsa di negeri ini.
Tidak banyak
orang bisa membaca gerakan dan strategi NU, bahkan dengan warga NU sendiri. Tidak
sedikit mereka yang gagal paham, lantaran mereka tidak memahami harakah dan
firkah NU. Tidak sedikit pula warga NU, termasuk dari kalangan pemudanya yang
ikut terjerumus keperangkap mereka. Banyak yang terpengaruh dengan berbagai isu
dan narasi murahan yang mereka sebarkan hingga akhirnya ikut-ikutan mencela
bahkan memfitnah ulama-ulama NU. Tuduhan dan fitnahan yang dialamatkan kepada
NU dan ulama-ulamanya hanya untuk mengkerdilkan dan menghilangan kepercayaan
warganya kepada NU dan ulama-ulamanya. Hanya mereka tidak sadar, bahwa gerakan
mereka itu sudah dibaca oleh NU.
Wallahu a’lam
Penulis : M.
Syafi’ie Huddin
Wakil Ketua
PCNU Ketapang