NU KETAPANG - Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali At-Thusi. Bergelar Hujjatul Islam. Dilahirkan di Thus, sebuah kota kecil di Khurasan Persia (Iran) pada tahun 450 H atau 1058 M. di tempat kelahirannya pula ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 1111 M, dalam usia 55 tahun.
Dunia mengenal Al-Ghazali sebagai ulama, pemikir, filosof
dan sufi besar. Pandangan yang luas dan pemikirannya yang brilliant selalu
menjadi rujukan dari para pemikir dari masa-masa sezamannya dan masa
sesudahnya. Bahkan iapun memahami benar konsep pendidikan, yang ia tuangkan
lewat maha karyanya seperti Ihya Ulumuddin, Fatihatul Ulum dan Ayyuhal Walad.
Dalam karya-karya tersebut tercermin pandangan-pandangannya tentang seluk beluk
pendidikan dan pengajaran. Sungguhpun demikian pemikirannya tentang pendidikan
tersebut tidak dapat dipisahkan dari
jiwanya sebagai seorang filosof dan sufi.
Konsep pendidikannya yang sangat spesifik, senantiasa
memberi warna tersendiri bagi konsep-konsep pendidikan modern kini. Ia dengan
meyakinkan menguraikan arti pentingnya ilmu pengetahuan dan klasifikasinya,
tujuan pendidikan, keharusan harmonisasi guru-murid, konsep tentang pendidik
(al-mu’allim), belajar dan mengajar juga tentang adab atau norma-norma yang
harus dipegang oleh seorang pendidik ketika menunaikan tugas sucinya. Oleh
karena pemikirannya yang kompleks di bidang pendidikan itulah, maka seorang
wartawan dan Ilmuwan Pakistan Jamil Ahmad lebih menempatkan Al-Ghazali pada
kedudukannya sebagai tokoh pendidikan yang berpengaruh.
Di bawah ini akan Penulis hidangkan kepada para pembaca,
sebagian kecil dari pemikiran Al-Ghazali dalam bidang pendidikan, yakni
konsepnya tentang pendidik atau al-Mu’allim. Semoga pembahasan ini menambah
wawasan ilmiah kita, khususnya bagi calon-calon guru atau mereka yang telah
lama mengabdi sebagai guru. Agar mengetahui dan
memahami akan kedudukannya bukan hanya sebagai profesi namun lebih dari
itu pula sebagai panggilan suci.
Kedudukan Seorang Pendidik
Memahami pemikiran Al-Ghazali tentang pendidik (al-Mu’allim) tidaklah dapat dipisahkan dengan pemahaman konsepnya tentang ilmu, yang dari akar kata yang sama; yakni ‘alima, lahir kata-kata ‘alim, ‘ulama, utul ‘ilmi dan mu’allim. Sebagaimana yang telah tersirat dan tersurat dalam Al-Qur’an dan beberapa teks hadits Nabi.
Kata-kata tersebut dapat dikonotasikan sebagai guru,
pendidik atau mu’allim. Menurutnya, seorang yang ‘alim itu mempunyai
konsekuensi untuk menyampaikan ilmunya, sedang orang ‘alim yang tidak
menyampaikan ilmunya diibaratkan bagaikan orang kaya yang menimbun hartanya,
tidak dimanfaatkan untuk orang lain yang membutuhkan.
Pendidik sebagai orang yang diberi amanah ilmu oleh Allah
SWT menurut Al-Ghazali ialah orang yang memiliki kedudukan yang sangat mulia di
sisiNya, lebih atas dari seluruh makhluk di bumi bahkan seluruh makhluk
kerajaan langit. Pendidik ialah orang yang menyampaikan ilmu Allah, sedang ilmu
itu sendiri merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan untuk
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, melalui usaha pendidikan.
Al-Ghazali memaparkan bagaimana mulianya kedudukan seorang
pendidik itu dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, khususnya juz I. Dengan selalu
menyandarkannya pada dalil-dalil naqli, aqli dan kata-kata hikmah para ahli fikir.
Antara lain ia mengatakan, “makhluk yang paling mulia di atas permukaan bumi
ialah jenis manusia dan bagian yang paling mulia diantara substansi manusia
ialah hatinya. Sedang seorang pendidik ialah orang yang berusaha
menyempurnakan, meningkatkan, mensucikan dan membimbing hati untuk mendekatkan
diri kepada Allah Azza Wa Jalla” (Ihya’ I : 13).
Sebagaimana yang ditulisnya sendiri dalam Ihya’ –nya halaman
13 di atas, maka dalam kitabnya yang lain Fatihatul Ulum halaman 15, ia
mengatakan bahwa dalam mengamalkan ilmu itu haruslah didasarkan atas ikhlas.
Maka di dalam hati itulah ikhlas bermuara. Bila amaliah sudah bercermin dari
panggilan hati yang dalam, bersih dan suci maka akan melahirkan sikap dan
tingkah laku yang baik menuju pendekatan diri kepada Allah. Dari sinilah
kedudukan seorang pendidik, yaitu sebagai petunjuk yang mengarahkan anak
didiknya dalam mencapai “kesucian” hati.
Terkait dengan itu Fathiyah Hasan Sulaiman dalam Sistem
Pendidikan Versi Al-Ghazali (1980 : 44-51) merumuskan kewajiban-kewajiban
seorang pendidik berdasarkan pandangan Al-Ghazali, yakni :
1. Sifat-sifat yang sangat penting yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik ialah kasih sayang dan simpatik kepada anak didik, sebab
keharmonisan hubungan dengan anak didik dapat menumbuhkan rasa percaya diri
sang anak didik. Rasa percaya diri dan penuh kepercayaan kepada pendidik dapat
menimbulkan sugesti untuk memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya (Ihya’ I : 49).
2. Mengajar harus semata-mata mencari keridlaan Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya, jangan mengharapkan balasan materi, tanda jasa
penghargaan atau ucapan terimakasih. Sebab dengan motivasi seperti itu hanya
akan merendahkan martabatnya di hadapan anak didik, umat dan martabat kemuliaan
ilmu (Ihya’ I : 49).
3. Selalu memberi nasihat kepada anak didik pada setiap
kesempatan, jangan membiarkan anak didik mempelajari sesuatu yang belum
semestinya ia pelajari (Ihya’ I : 50).
4. Mencegah anak-anak didiknya dari sifat tercela dengan
jalan sindiran atau isyarat, jangan memperbesar kesalahan apalagi dengan
mencaci maki mereka (Ihya’ I : 50).
5. Bersikap lapang dada, menghargai disiplin ilmu yang lain,
sekalipun bukan ilmu yang menjadi profesinya (Ihya’ I : 51).
6. Memperhatikan perbedaan-perbedaan individu anak didik
baik tingkat pemahaman maupun kecerdasannya. Jangan memberikan pelajaran yang
berlawanan dengan kecerdasan atau minat dan bakat anak didik (Ihya’ I : 51).
7. Pendidik yang idealis ialah yang memiliki karakteristik
merealisir pelajaran yang ia berikan kepada anak-anak didiknya (Ihya’ I : 52).
Kewajiban Menyampaikan Ilmu
Al-Ghazali menggunakan term ta’lim untuk sebuah pemikiran yang merujuk ke dalam pengertian menyampaikan ilmu atau mengajar. Sekalipun ta’lim ditransliterasikan dengan mengajar di sini kurang tepat, mengingat konsep mengajar menurut Al-Ghazali sendiri lebih luas dari arti mengajar yang selama ini dipahami sebagai bagian dari pendidikan (tarbiyah), namun dalam Ihya’-nya Al-Ghazali justeru tidak menggunakan istilah tarbiyah.
Al-Ghazali menggunakan term ta’lim untuk sebuah pemikiran yang merujuk ke dalam pengertian menyampaikan ilmu atau mengajar. Sekalipun ta’lim ditransliterasikan dengan mengajar di sini kurang tepat, mengingat konsep mengajar menurut Al-Ghazali sendiri lebih luas dari arti mengajar yang selama ini dipahami sebagai bagian dari pendidikan (tarbiyah), namun dalam Ihya’-nya Al-Ghazali justeru tidak menggunakan istilah tarbiyah.
At-Ta’lim menurutnya adalah bukan sekedar menyampaikan ilmu
pengetahuan “transfer of knowledge” , tetapi lebih daripada itu juga bermakna
pembinaan, bimbingan dan pemeliharaan. Oleh karenanya, ta’lim menurutnya tentu
lebih mengena diartikan sebagai “pendidikan”. Atau dapat diartikan dengan
mengajar dan pengajaran dalam pengertian yang spesifik (khusus).
Menurut Al-Ghazali, mengajar itu mempunyai dwifungsi,
Pertama ; mengajar sebagai tugas ibadah, berangkat dari tuntunan Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa tugas utama jin dan manusia diciptakan ialah hanya untuk
beribadah kepada Allah SWT (Al-Dzariyat ayat 56), maka semua aspek hidup dan
kehidupan haruslah senantiasa berorientasi kepada nilai-nilai ubudiyah termasuk
di dalamnya masalah belajar dan megajar. Kedua ; mengajar sebagai tugas
khalifah, dalam hal ini ada beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan
pandangan Al-Ghazali bahwa mengajar itu menjadi tugas manusia sebagai khalifah
fil Ardh.
1. Manusia
(dalam hal ini Nabi Adam as) diciptakan oleh Allah SWT dengan dibekali
bermacam-macam ilmu pengetahuan, yang dengannya menjadikan asbab diutamakannya
Nabi Adam as atas para Malaikat (Al-Abrasy, 1987 :136). Kemudian dijadikannya
keturunan Adam as sebagai khalifah-khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah :
30-34, Al-An’am : 165).
2. Allah
SWT telah mengangkat dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai seorang rasul dan
sebagai seorang “guru”. Beliau sadar akan tugas dan tanggungjawabnya itu. Dalam
sebuah hadits dikatakan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Tuhanku telah
memerintahkan kepadaku supaya aku mengajarkan kalian apa yang tidak kalian
ketahui yang telah DIA ajarkan kepadaku” (HR. Muslim).
3. Ilmu
adalah salah satu sifat Allah SWT yang paling khusus. DIA akan membuka hati
manusia dan akan diberikan setitik ilmu-Nya kepada orang-orang yang Dia
kehendaki. Oleh karenanya, Al-Ghazali mengibaratkan ilmu itu “gudangnya Allah”
maka orang yang berilmu itu ibarat penjaga gudang tersebut yang diberi izin
oleh si empunya untuk diberikannya kepada setiap orang yang membutuhkan (Ihya ‘
I : 13)
Atas dasar pokok-pokok pikiran di atas, Al-Ghazali
berpendapat bahwa mengajar itu mempunyai fungsi sebagai tugas ibadah dan tugas
khalifah. Sehubungan dengan itu ia menggambarkan keadaan orang yang berilmu
tetapi tidak mau mengamalkan dan tidak mau menyampaikan kepada orang lain
sebagai orang yang berdosa, di azab oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Penutup
Demikian pokok-pokok pikiran filosofis Al-Ghazali tentang guru atau pendidik (Al-Mu’allim). Dari bahasan di atas, kita sampai pada simpul kata bahwa seorang pendidik menurut Al-Ghazali adalah spiritual father bagi seorang anak didik; dialah yang memberikan asupan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan ikhtiar membentuk anak menjadi seorang hamba di hadapan Sang Khaliq.
Demikian pokok-pokok pikiran filosofis Al-Ghazali tentang guru atau pendidik (Al-Mu’allim). Dari bahasan di atas, kita sampai pada simpul kata bahwa seorang pendidik menurut Al-Ghazali adalah spiritual father bagi seorang anak didik; dialah yang memberikan asupan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan ikhtiar membentuk anak menjadi seorang hamba di hadapan Sang Khaliq.
Oleh karenya, seorang pendidik haruslah memiliki sifat
zuhud, ikhlas, suci hati, pemaaf dan sabar, menjadi seorang ayah yang tahu
tabiat anak dan menguasai mata pelajaran.
Akhirul kalam, sekalipun Al-Ghazali tidak berbicara tentang ”guru” dalam konteks
kekinian, yakni sebagai profesi, akan tetapi nilai-nilai filosofis dari
pemikirannya tetap relevan dengan kondisi sekarang, dan sampai kapanpun.
Wallahu A’lam.
Referensi
1. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz I, Al-Utsmaniyah, Mesir : 1933 M/1352 H.
1. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz I, Al-Utsmaniyah, Mesir : 1933 M/1352 H.
2. Muhammad
Nawawi Al-Jawi, Syarah Bidayah Al-Hidayah, Al-Halaby Mesir : tt
3. Fathiyyah
Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Islam Versi Al-Ghazali, Al-Ma’arif, Bandung :
1980.
4. Jamil
Ahmad, Seratus Musim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta : 1987
5. Abdul
Fattah Jalal, Asas-Asas Pendidikan Islam, Diponegoro, Bandung : 1988
6. Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta : 1987
Penulis : Muhammad Nashir Syam, M.Pd.I.
(Wakil Sekretaris PCNU Ketapang / adalah salah seorang
pengagum Al-Ghazali)