NU KETAPANG - Wong NU atau orang NU itu kompleks. Tidak bijak kita membandingkan kondisi NU pada masa mbah Hasyim Asy’ari dengan masa Buya Said atau Gus Yahya. Termasuk membandingkan “gaya” kepemimpinan keduanya. Ada yang dengan mudah mengatakan, “aku ingin seperti NU zaman Hasyim Asy’ari” yang katanya masih lurus, beda dengan NU zaman sekarang yang konon bengkok berliku-liku. Lah zamannya saja sudah berubah, kondisi nahdliyinnya sudah jauh berbeda, tantangan dan permasaahnnya pun sudah tidak sama. Bagaimana bisa dibanding-bandingkan ?
Bicara “kondisi” wong NU pada era kini amat sangat menarik.
Terlahir, tumbuh dan berkembang dari beragam proses. Contohnya begini :
Kasus satu : Bapak dan mbahnya semua NU, lahir dan tumbuh
berkembang di lingkungan pesantren. Kemudian aktif berkhidmat di NU. Jadilah ia
NU genetis “glondongan” atau NU “tulen”. Pemikiran dan gagasannya lebih pada
kepesantrenan dan keumatan, diterjemahkan dengan tradisi-tradisi klasik tapi
unik. Sistem pengkaderannya tidak perlu melalui proses-proses kaku, karena
kultur sudah NU dengan sendirinya.
Kasus dua : Mendapatkan pendidikan formal umum dari SD
hingga SMA (bahkan SMK), kemudian “tersesat di jalan yang benar” kuliah di
Perguruan Tinggi Islam, berkenalan-lah ia dengan PMII, sampai menjadi kader
yang loyal. Maka jadilah ia wong NU, yang sekalipun bekal ilmu agamanya tidak
sefasih ketika mengucapkan “Wallahul muwafiq ila aqwamith tharieq”.
Pemikirannya progresif, memiliki kemampuan memenej organisasi dan cenderung
formalistic.
Kasus tiga : Seperti kasus satu, hanya ia berkesempatan
belajar ke Barat (S,1 di Cirebon, S.2 dan S.3 di Cichago). Balik ke Indonesia
dengan tetap menjadi NU tapi “agak beda”. Sekalipun masih tetap berkain sarung
dan topi kupluk tapi pemikirannya “agak-agak liberal” bahkan sebagian rekannya
menyebut ia “sesat”. Liberal ia terjemahkan bukan bebas-sebebas bebasnya, tapi
dimaknai dengan “terbuka”. Menjadikan doktrin Islam sebagai sebuah diskursus
yang terbuka, untuk dibedah oleh siapa saja dan kapan saja. Tapi ia tetap NU
ashli (pake shod, qolqolah).
Kasus empat : Ialah yang bukan termasuk 1 sampai tiga
seperti di atas.
Nah dari kasus-kasus di atas, adalah sangat mungkin sekali
terjadi beragam cara pandang kader NU atau wong NU dalam melihat , memandang,
mempersepsikan dan menginterpretasikan sesuatu. Sudut pandang yang berbeda itu
terjadi karena proses kelahiran mereka yang berbeda pula. Justeru itulah yang
menjadi “khazanah” pemikiran nahdliyin yang menurut saya “luar biasa”. Karena
perseturuan setajam apapun, bagi tradisi NU akan berakhir kalau sudah “ngopi
bareng” ketawa-ketiwi diselingi guyon khas ala NU. Dan titik temu pasti akan berujung saling
memahami dan saling mau mengerti. Paling-paling cuma terucap, “saya mufaroqoh…”
Tapi tak sampai bikin jam’iyah tandingan entah bernama “garis lurus” atau
apapun yang aneh-aneh.
Jadi benarkan kalau saya katakan :
“luwih angel ngurus wong NU tinimbang dadi pengurus NU”
(lebih susah mengurus orang NU daripada manjadi Pengurus NU) itu lebih
dimaksudkan sebagai demikian kompleks dan beragamnya latar belakang nahdliyin
maka tidak mudah menyatukan mereka dalam satu kata, satu kalimat. Beragam
maqalah tapi insyaAllah ujungnya ke muara yang sama : saling memahami dan
saling mau mengerti. Dan tentu adab di atas ilmu, itu pasti.
Dengan variannya latar belakang wong NU itu, maka sejatinya
bisa menjadi potensi kekayaan “khazanah” pemikiran NU lebih baik, bila warga NU
sendiri mampu memenej-nya. Ini sekaligus menjadi modal utama meningkatkan
sumberdaya insani kaum nahdliyin juga.
Akan halnya menjadi pengurus NU, sejatinya sudah diatur
dengan jelas-sejelas jelasnya dalam AD/ART jam’iyah-tentang kelayakan seseorang
menjadi pengurus NU. Permasalahan (kalau ada) tidak sekompleks yang dihadapi di
tengah-tengah dinamika wong NU.
Mensikapi dinamika yang terjadi di tengah-tengah kaum nahdliyin itu, seyogyanya NU sebagai sebuah organisasi harus lebih bijak dalam menjalankan roda orgaisasinya. Hari berganti, musim berubah pastilah harus ada kepastian ke mana layar biduk ini harus di arahkan … *
Penulis : Muhammad Nashir Syam
Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Ketapang