NU KETAPANG - Dalam berbagai Postingan di medsos banyak kalangan "alumni pesantren" memosting HSN (Hari Santri Nasional) atau Hari Santri pada bulan oktober ini. Ada nya Hari santri dianggap bentuk perhatian dari penguasa bagi kalangan pendidikan tradisional asli indonesia dan pendidikan tertua di negeri ini.
Bagi kalangan pesantren Hari santri Nasional atau Hari Santri dianggap suksesnya deal politik kalangan santri pada penguasa untuk mensejajarkan pesantren dengan pendidikan formal bentukan kolonial jaman dahulu.
Karena pasca indonesia merdeka tahun 1945 sampai tahun 2016 pesantren dianggap sebagai pendidikan kampungan yang kelas dua oleh bangsa sendiri.
Terbukti dengan tidak di di akuinya sertifikat (syahadah) bagi para lulusannya atau dianggap pendidikan ilegal , sulitnya masuk ASN, BUMN atau Perusahaan yang memakai "Ijazah" formal sebagai syarat masuk nya karena pesantren tidak punya itu.
Pesantren yang dilirik oleh penguasa pada jaman dahulu adalah pesantren yang memiliki ciri khas modern dan punya lembaga formal anjuran pemerintah. Bagi pesantren yang tidak punya itu maka akan bernasip suram dalam tatanan pendidikan nasional.
Bagi pemegang status Quo (penguasa), deal politik ada nya Hari Santri Nasional atau Hari Santri adalah "investasi jangka panjang" untuk garansi dukungan bagi kalangan sarungan. Dan sebagai Wahana untuk intervensi program atau strategi menjinakkan sikap kritis, indenpendensi kalangan sarungan dengan membawa isyu atau wacana "deradikalisasi". Ini pernah dilakukan oleh pemerintah Mesir dukungan barat untuk berusaha mengendalikan universitas islam tertua didunia yaitu "Al Azhar".
Efek dari deal politik itu memang ada plus minus nya bagi kalangan santri dan pesantren. Karena paling tidak itu mempengaruhi pada warna pola pendidikan pesantren yang ada.
Dahulu besarnya sebuah pesantren dipengaruhi oleh "mitos" ke aliman nya kiai, waro' nya kiai dan "khoriqul adah" (karomah) kiai pengasuhnya sebagai magnet pemikatnya.
Sekarang sebagai pemikatnya berubah dengan rapinya sistem managemennya, mewah fasilitas dan gedungnya serta jenjang pendidikan formalnya walaupun sang pengasuh "biasa biasa saja".
Karena orientasi santri dahulu adalah untuk ngalap berkah para kiai saja sedangkan sekarang berorientasi "lapangan kerja" dengan slogan sekolah sambil mondok.
Kurikulum klasik jaman dahulu yang menggunakan pola kitab ta'limul muta'alim yang menganggap kematangan seorang santri apa bila sudah menguasai skill keagamaan dari ngaji fikir, ngaji dzikir, dan ngaji sikil"(Intelgensi Quentine, Emosional Quentine dan Spiritual Quentine) dengan motto "Tuli zaman (panjang waktunya) berubah menggunakan sistim ijazah sebagai tolok ukurnya dan sistim pembatasan semester untuk ukuran waktu nya, semakin lama dalam pendidikan dianggap gagal dan bodoh.
Pola pendidikan "tirakatan" seperti puasa senin kamis, puasa Daud, puasa dalail, puasa ngrowot, puasa mutih, puasa ngebleng untuk mengasah bashoriah dan jiwa para santri berubah dengan fasilitas laptop, wifi dan google.
Semua itu akhirnya sedikit demi sedikit menggerus ciri khas dari "dunia pesantren warisan para salafussholihin" dan menjadikan "Pudarnya Karomah Ghoibiyah para santri dan pesantren berubah menjadi "karomah formalitas" akibat obsesi formalitas pendidikan.
Memang sebenarnya kalangan santri dan pesantren tidak boleh terlalu kolot atau rapat menutup diri dijaman millenial ini supaya ada kemajuan dimasa yang akan datang. Tapi juga jangan sampai kebablasan dalam melangkah sehingga menghilangkan identitas kaum sarungan dan pesantren. Prinsipnya adalah dengan sikap bijaksana pada penerapan " al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah", (Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik').
Seperti yang diterapkan oleh kaisar jepang Hirohito sebelum perang dunia 1 dalam film "The last samurai" dia mengatakan bahwa "kita ingin menjadi negara yang maju, modern dan berjaya. Akan tetapi kita harus ingat siapa diri kita, dari mana kita berasal dan bagaimana karakteristik bangsa dan budaya nenek moyang kita.
Begitu pula kita kalangan sarungan dan pesantren, kita memang pingin maju, modern dianggap sejajar dengan mereka tapi kita harus ingat siapa kita, dari mana kita berasal dan bagaimana karakteristik sebuah pesantren yang diwariskan oleh para leluhur kita yaitu salafussholihin jaman dahulu.
Selamat Hari Santri Nasional atau Hari Santri 2022 semoga dengan adanya Hari Santri ini kita semakin maju, bermartabat, sejajar akan tetapi kita tidak meninggalkan identitas kita sebagai kalangan santri dan pesantren karakter dari para salafussholihin yaitu litafaqohu fiddin dengan "iman, ilmu, amal dan akhlaqul karimah.
Penulis : Ust. Iman Setiadi
Wakil Katib PCNU Ketapang; Pendiri dan Pengasuh PP. Nurul Qur'an As-Syadzali, Muara Pawan, Kab. Ketapang