RELASI ISLAM-KRISTEN ; Membedah Pemikiran Kiai Said Aqil Siroj


NU KETAPANG - Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA (selanjutnya ditulis : Kiai SAS) adalah satu dari beberapa nahdliyin yang mewarisi pemikiran Gus Dur, terkait dengan ide-ide pluralism dan wacana kemanusiaan. Kalau Greg Barton (penulis buku ‘Biografi Gus Dur’) menyebut Gus Dur berfikiran liberal, maka Kiai SAS pun tak jauh dari itu, kendati dalam sebuah tulisannya pria kelahiran Cirebon 70 tahun silam ini menentang liberalism. Akan tetapi pernyataannya yang sering dikutip massmedia acapkali mengundang kontroversi, sehingga banyak yang mencap ia liberalis, agen Syi’ah, anti Arab dan bahkan antek Yahudi. 


Satu pikiran menarik yang penulis catat ialah ketika kiai SAS menjelaskan relasi Islam-Kristen sebagaimana yang terdapat dalam bukunya : Tasawuf sebagai Kritik Sosial.


Ia menyebutkan bahwa hubungan Islam-Kristen sudah “mesra” sejak awal. Kendatipun dalam perjalanan kemesraannya pernah diwarnai “pertengkaran” yakni Perang Salib pada abad ke-10 sampai 11 M tetapi dalam konteks sejarah sejatinya peristiwa itu meletup lebih disebabkan oleh faktor tendensi politik dan ekonomi ; bukan perang antar-agama. Demikian pula ketika Eropa datang “menjajah” nusantara (baca : Indonesia) menimbulkan imeg bahwa Kristen masuk ke Indonesia bersamaan dengan proses penjajahan, sehingga pejuang kita menyebut melawan mereka adalah jihad melawan orang kafir.


Kiai SAS mengatakan, ada fakta sejarah yang menunjukkan betapa relasi Islam-Kristen terjadi sangat harmonis ;


Pertama, sewaktu nabi masih berusia belia melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan pamannya; Abu Thalib. Bersualah mereka dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira (atau Bahira). Sang pendeta mengamati sosok fisik Muhammad, kemudian ia menyarankan bahwa demi keamanan, agar kembali pulang ke Makkah karena menurutnya Muhammad adalah sosok yang akan menjadi nabi, sebagaimana yang tersirat dalam Injil.


Kedua, sewaktu nabi mengalami keguncangan psikis setelah menerima wahyu pertama sebagai tanda kenabian. Khadijah, isterinya membawa beliau kepada tokoh Nasrani Waraqah bin Naufal. Orang Nasrani yang saleh ini memberi tahu bahwa peristiwa itu sebagai pertanda kenabian terakhir untuk Muhammad. Jadi dari dua peristiwa di atas, orang-orang Nasranilah dari segi horisontal yang memberi legitimasi kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.


Teks al-Qur’an memberikan perhatian cukup besar terhadap relasi harmonis Islam-Kristen. Ketika terjadi perang antara Kerajaan Persia dan Romawi, justeru Nabi berdoa untuk kemenangan Romawi yang saat itu merupakan pusat agama Katholik (sekalipun Allah berkehendak lain, Persia-lah yang menang (baca : surah Ar-Rum : 2-4). Demikian pula ketika orang-orang Yahudi mendikskreditkan Maryam (atau Maria) sebagai perempuan yang tidak bermoral maka Al-Qur’an menjelaskan kesuciannya dalam surah Maryam sekaligus memulihkan nama baiknya, bahkan ditegaskan siapapun yang menghinanya berarti sejajar dengan orang-orang kafir.


Al-Qur’an juga menaruh simpati atas tragedi Najran yang menimpa umat Nasrani di kota Najran (wilayah selatan Arab Saudi, sekarang) di mana umat Nasrani disiksa dan dimasukkan ke dalam parit yang terbakar, diabadikan oleh Al-Qur’an dengan penuh empati (surah Al-Buruj 4-8). Dikisahkan pula beberapa sahabat Nabi hijrah ke Etiopia dan meminta suaka politik kepada Raja An-Najjasyi. Penguasa Nasrani ini berhasil melindungi sahabat Nabi dari ancaman pembunuhan Kafir Quraisy. Kisah tersebut diabadikan dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 82.


Kata kiai SAS, interaksi harmonis Islam-Kristen bukan hanya sebatas dalam masalah-masalah teologis, melainkan juga pada semua aspek kehidupan social-kemasyarakatan. Narasi kiai SAS terkait dengan betapa harmonisnya relasi Islam-Kristen itu sama sekali bukan berarti kedua agama samawi itu tidak ada sekat perbedaan. Dalam masalah-masalah yang bersifat prinsip-fundamental tentulah perbedaan itu sesuatu yang niscaya. Tapi mengapa pula perbedaannya yang musti diperuncing ? Sebagai pewaris ideologis pemikiran Gus Dur, kiai SAS tahu betul itu.


Menutup tulisan ini, ingin Penulis sampaikan berulang-ulang tentang cerita Gus Dur (sekalipun terus terang Penulis tidak bisa melacak kesahehan cerita ini ; dari mana, dari buku apa). Begini ceritanya :

Suatu hari Gus Dur ditanya oleh seorang sahabatnya yang Nasrani, tentang siapa putra Ibrahim yang disembelih : Ismail atau Ishak. Sebab menurut Al-Qur’an adalah Ismail, sedang menurut Bible adalah Ishak. Dengan ringan Gus Dur menjawab, “Dua-duanya benar”

Sahabatnya bertanya lagi, “Mengapa bisa begitu” 

Gus Dur menjawab, “Karena dua-dua tidak jadi disembelih toh …?” Jawaban yang singkat, padat tapi sangat cerdas. Islam-Kristen sama-sama berkeyakinan bahwa Tuhan menggantinya dengan domba dari surga…..

Wallahu a’lam.


Penulis: Muhammad Nashir Syam

(Anggota FKUB Kabupaten Ketapang dan Wakil Sekretaris PCNU Ketapang)



أحدث أقدم
.



.