Antara Buku Benteng Tauhid dan Amaliah NU



NU KETAPANG - Beredarnya buku-buku yang isinya bertentangan dengan faham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), dimana buku itu antara lain berjudul “Benteng Tauhid” yang ditemukan beberapa waktu yang lalu disalah satu masjid Desa Sei Jawi, Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang. Tidak diketahui pasti identitas orang yang telah sengaja mengedarkan buku di masjid ini. Bahkan disinyalir tidak hanya satu masjid ini saja buku itu disebarkan.

Buku yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini diterbitkan Daar Al Qasim yang berukuran 8x12 cm dengan jumlah halaman 176 ini, adalah berupa rangkuman karya tulis dari beberapa ulama mereka yang membahas tauhid, pemurnian agama dan masalah bid’ah. Isi dari buku tersebut memuat larangan memperingati Maulid Nabi, beristighotsah kepada Nabi, bertawassul kepada Nabi dan orang-orang sholeh, dan lain-lain.

Beberapa alasan dari mereka yang membid’ahkan amaliah Aswaja dikarenakan amaliah-amaliah itu menurut mereka tidak ada dasarnya baik Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Faham ini memandang perbuatan itu tidak dianggap sunnah, sebab hakekat sunnah adalah hal-hal yang dianjurkan oleh syari’at untuk melakukannya. Juga tidak dihukumi mubah (boleh), karena bid’ah dan agama tidak bisa dihukumi mubah dengan ijma’ umat islam. Alasan lain yang dikemukakan kelompok ini yaitu dimasa sahabat, begitu pula para tabi’in tidak pernah mereka melakukan peringatan maulid Nabi.

Dilihat dari sudut pandang pemahaaman Aswaja An-Nahdliyah, tentu pendapat tersebut sangatlah keliru dan bertolak belakang dengan amaliyah-amaliyah yang selama ini sudah mengakar dan memasyarakat dikalangan warga Nahdlatul Ulama. “Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti dilarang dan diharamkan. Anjuran dalam melakukan sunnah tidak mesti karena memang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi bisa juga perbuatan itu dibolehkan karena di-Qiyas-kan dengan Al-Qur’an dan Hadits”. Kata Kiyai Fakhruddin Anggota Bahtsul Masail PCNU Ketapang.

Menurut Kiyai Fakhruddin, pertama kali Maulid dilakukan oleh seorang raja yang alim dan adil. Acara tersebut dihadiri oleh pada ulama dan orang-orang shaleh, ternyata tidak satupun yang mengingkari dan menolaknya. Andaikan itu perbuatan salah pasti akan ditolak oleh ulama yang hadir. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr ayat 7: “Apa yang diberikan Rasul kepdamu terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” Sabda Rasulullah SAW “Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuatu dengan kemampuan kalian, dan jika aku melarang sesuatu kepada kalian maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam ayat dan hadits ini kata Kiayi Fakhruddin, yang ditegaskan adalah meninggalkan perkara yang dilarang oleh Rasulullah. Pertanyaannya, manakah dalil yang melarang melakukan Maulid Nabi? Dari ayat dan hadits ini banyak para sahabat yang melakukan amaliyah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW. Contoh: Sayyidina Umar melaksakan shalat Tarawih 20 raka’at dengan berjama’ah; Sayyidina Utsman dengan menambah adzan dua kali sebelum Jum’at , dan banyak yang lainnya.

“Semua dalil yang dipaksakan untuk melarang Maulid merupakan bentuk istidlal yang tidak mendasar dengan dorongan nafsu atas kebencian terhadap umat Islam yang mencintai Rasulnya. Oleh karena itu saya meminta kepada warga nahdliyah untuk tidak menerima mentah-mentah adanya pemahaman atau buku-buku yang bertentangan dengan amaliyah warga NU. Jika ada yang meragukan silakan ditanyakan kepada kiayi atau ustadz yang berpaham Aswaja An-Nahdliyah, biar kita tidak salah memahami pemikiran mereka.” Pungkas Kiayi Fakhruddin yang juga sebagai Ketua MUI Benua Kayong. (Syafi’ie Huddin).


Lebih baru Lebih lama
.



.