NU KETAPANG - Secara etimologi, kata “ulama”
merupakan bentuk plural dari kata “alim”, yang berarti orang yang
berpengetahuan. Dalam perkembangan kebahasaan, term ulama itu mengalami
penyempitan makna (disebut makna spesialisasi) dari yang semula bersifat umum
(semua bidang ilmu pengetahuan) menyempit ke bidang agama Islam an-sich. Oleh
karenanya, secara terminologi, ulama adalah orang yang ilmunya mampu
mengantarkan dia kepada derajat khasyyah (yakni rasa takut dan kagum kepada
Allah), yang pada gilirannya hal itu akan mendorong orang ‘alim yang
bersangkutan untuk berbuat kemaslahatan kepada sesama.
Teks Al-Qur’an yang menggambarkan siapakah ulama itu bisa kita temui pada surah Fathir ayat 28, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya hanyalah para ulama…” Informasi yang didapat melalui Kitab Fathurrahman Li Thalibi Ayatil Qur’an, bahwa dalam Al-Qur’an hanya disebutkan dua kali kata ulama tersebut. Yang pertama di surah Fathir ayat 28 dan kedua di surah Asy-Syu’ara ayat 197, yang kedua inipun terkhusus untuk ulama Bani Israil “Apakah tidak (cukup) menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israel mengetahuinya ?”
Dari teks-teks hadits Nabi, kita jumpai misalnya dari
riwayat Abu Dawud, “…kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti
keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang, ulama adalah
pewaris para nabi” . Sementara pada narasi hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dzar r.a disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ada hal yang aku takutkan
pada umatku melebihi Dajjal yaitu ulama yang sesat lagi menyesatkan.”
Dari deskripsi sederhana berdasarkan teks-tekas ayat dan
sabda Nabi di atas terpikir oleh kita bahwa ulama itu ada yang baik/benar dan ada yang tidak baik/sesat bahkan
menyesatkan (ulama suu’). Ulama yang baik dan benar inilah yang dapat
berkonstribusi terhadap umat, bangsa dan negara. Mengingat keberadaannya
sebagai penyambung lidah risalah para anbiya (waratsah al-anbiya’) dan
sebagai pelayan umat (khadim al-ummah) demi terwujudnya tatanan baru
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan manusia (al-musawah),
keadilan (al-‘adalah) dan demokrasi (al-syura) untuk menuju masyarakat
madani (khairu ummah).
Sebuah Keniscayaan
Dalam sejarah panjang bangsa kita, setidak-tidaknya dimulai
dari awal masuknya Islam di Nusantara (menurut Prof. Hamka, pada abad 7 H),
sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit disusul tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam,
ekspansi imperialis, era penjajahan dan perjuangan mencapai dan mempertahankan
kemerdekaan sampai perumusan asas negara dan bahkan menyertai lembar-lembar
sejarah bangsa, peranserta ulama terhadap republik ini sangat besar. Termasuk
keberadaannya dalam percaturan politik. Dalam hal ini sejauhmanakah “keabsahan”
para ulama dalam berpolitik, kiranya patut dijadikan bahan kajian.
Ulama berpolitik itu sah-sah saja, setidak-tidaknya dengan
beberapa alasan :
Pertama, sebagai anggota masyarakat dan warga bangsa
mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat yang lain. Hak dimaksud
misalnya hak menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis, hak berkumpul,
berserikat dan berorganisasi termasuk hak berpolitik (hak-hak konstitusional).
Kesemuanya dibenarkan dan dilindungi oleh konstitusi. Demikian pula bilamana
ada ulama yang menggeluti bisnis, mengapa dipersoalkan ? Justeru mungkin idealnya
akan berimplikasi positif karena proses bisnisnya dijalankan dengan selalu
mengindahkan aspek-aspek spiritual (syar’i) bukan hanya material semata.
Kedua, politik dipahami sebagai sebuah alat
perjuangan, sedangkan kekuasaan adalah sebuah amanah. Misi utamanya adalah
“amar makruf nahi munkar” atau menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.
Dengan asumsi ini, ulama sebagai elemen masyarakat yang memiliki legitimasi
moral dan memegang “otoritas kebenaran” diharapkan mampu memegang kendali
politik atau setidaknya mewarnai kebijakan untuk menegakkan misi di atas.
Adalah sebuah kesia-siaan berharap menegakkan kebenaran, tanpa kekuasaan. Hal
ini memang tidak berlaku apabila politik dipahami sebagai tujuan, sedang
kekuasaan adalah segala-galanya. Bilamana ulama terjun di dalamnya, berarti ia
menceburkan diri dan umatnya ke dalam kubangan lumpur yang menyesatkan.
Ketiga, dalam perspektif fiqih, diskursus Negara
Islam (atau bentuk lain dari sebuah negara yang mayoritas muslim, atau negara
yang memberlakukan syari’ah Islam) hanya dapat diwujudkan dengan usaha-usaha
politik. Sesungguhnya bukanlah hal yang tabu bila kita “mengaji” Al-Khilafah,
al-Imamah dengan segala plus-minusnya. Karena fiqh adalah produk pemikiran
ulama, maka politik (dalam terminologi fiqh, disebut as-Siyasah) perlu selalu
dikaji dan dikaji sesuai dengan dinamika yang berkembang di tengah-tengah umat
demi kemaslahatan semesta. Dalam konteks inilah, ada banyak
kemungkinan-kemungkinan penerapan syari’at Islam, tanpa harus “berlebel” Islam.
Dan lagi-lagi hanya para ulama-lah yang diharapkan tampil di muka.
Keempat, dalam perspektif historis para founding
fathers saat menegakkan kedaulatan RI tidak lepas dari peran serta ulama.
Semenjak dahulu kita telah memiliki ulama-ulama pejuang, semisal Tuanku Imam
Bonjol (Sayid Muhammad Syahab) di Sumatera Barat, Tengku Umar, Teuku Cik Di
Tiro dan Panglima Polim di Aceh. Pangeran Diponegoro (Sayid Abdul Hamid) dan
Kyai Mojo di Jawa dan para Sultan di Kalimantan, Sulawesi dan Ambon. Kemudian
ulama-ulama perintis kemerdekaan seperti Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, KH.
Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mohammad Natsir dan masih banyak
lagi. Termasuk para ulama yang merumuskan dasar Negara; KH. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakir, Ki Bagus Hadikusumo dan sebagainya, konstribusi mereka sangat besar.
Ada sebuah pemeo klasik, “dalam politik itu tidak ada kawan
yang sejati, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi”. Pemeo ini dalam
realitas politik di mana saja dan kapan saja lebih banyak benarnya. Radikalnya
ialah, “kalau tidak mau dibunuh ya… membunuh duluan”. Praktek yang dilakukan ialah menghalalkan
segala macam cara demi kepentingan pribadi dan golongannya. Jangankan yang
lintas partai, bahkan yang masih satu partaipun tidak segan-segan mengorbankan
saudaranya sendiri, demi syahwat politik, ambisi dan obsesinya.
Ironis sekali, justeru yang menjadi korbannya adalah ulama.
Masalahnya barangkali beda visi, bila ulama menjadikan politik sebagai sebuah
alat dakwah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Sedangkan politisi
berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, yang terjadi selanjutnya para ulama
“dibodohi” . mereka dikatakan terlalu lugu, terlalu lurus, tidak bisa
“bermain”, tidak bisa lobi yang haha hihi. Kalau demikian halnya maka
pertanyaannya adalah, pada tataran mana semestinya ulama itu sah berpolitik ?
Belajar dari Sejarah
Firqih-firqoh di kalangan ulama menimbulkan kegundahan dan
kegalauan di tengah-tengah umat. Sebuah kewajaran sejarah karena dalam banyak
episode sejarah Islam, dimulai dari semenjak Rasulullah SAW wafat, persoalan
politik yang ujung-ujungnya menghasilkan perpecahan dalam tubuh umat Islam
sudah kenyang dijadikan sebagai sebuah catatan kelam. Bukankah Umar bin
Khotthob, Utsman dan bahkan Ali bin Abi Thalib syahid dibunuh oleh lawan-lawan
politiknya ?
Alkisah, Mu’awiyah menuduh Ali “the man behind the gun”
atas peristiwa keji yang menimpa Khalifah Utsman. Urusan ini akhirnya bermuara
pada pertempuran saudara yang menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.
Sampai akhirnya pihak Mu’awiyah-karena terdesak melancarkan “siasat busuk”
perundingan damai.
Pihak Ali mengutus dutanya, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari
(selanjutnya : AMA). Sedangkan Mu’awiyah diwakili oleh Amru Bin Ash
(selanjutnya : ABA). AMA adalah seorang ulama, tokoh tua bukan politisi. Karena
desakan situasi dan kondisilah ia
terpaksa berada pada wilayah politik yang tidak seharusnya ia jalani. Sedangkan
ABA adalah seorang politisi ulung, licik dan banyak akal (sebuah bakat alam
yang dimiliki politisi dari zaman old sampai zaman now).
Di forum perundingan, terjadi perdebatan yang seru. ABA
mengusulkan agar kasus pembunuhan Utsman diagendakan. Usulan itu ditolak oleh
AMA. Herannya, ABA mau mengikuti dan memahami alur berpikir AMA. Lalu ABA
mengeluarkan trick baru yakni masalah kepemimpinan. Ia berpendapat bahwa Amirul
Mukminin yang sah adalah Mu’awiyah. Tentu usulan ini ditolak oleh AMA, dan
sekali lagi ABA menerima penolakan itu, tentu dengan “imbalan”. Bahwa seandainya ABA menarik dukungan
terhadap Mu’awiyah maka AMA pun harus pula menarik dukungan terhadap Ali.
Selanjutnya masalah kekhalifahan diadakan pemilihan ulang,
keduanya sepakat untuk men”status quo”kan kepemimpinan yang ada. Dengan alasan
menghormati AMA sebagai orang yang lebih dituakan, orang yang lebih dini
memeluk Islam dan sebagai sahabat Nabi yang saleh, ABA mempersilakannya untuk
membacakan kesimpulan perundingan tersebut di hadapan umat Islam. Maka AMA pun
berdiri, lalu ia sampaikan apa yang menjadi kesepakatan perundingan, bahwa
ia menurunkan Ali dan Mu’awiyah,
selanjutnya menyerahkan pemilihan Amirul Mukminin kepada kaum muslimin untuk
dimusyawarahkan.
Kemudian giliran ABA berpidato : “ Orang ini (Abu Musa
Al-Asy’ari) telah setuju memecat Ali, sahabat dan pemimpinnya sendiri. Tetapi
saya tetap mempertahankan sahabat dan pemimpin saya yakni Mu’awiyah sebagai
khalifah. Maka dengan ini kami nyatakan Mu’awiyah sebagai Amirul Mukminin”.
Setelah itu, suasana geger. Tragis ! Maka teringatlah kita akan Sabda Nabi SAW
“serahkanlah sesuatu kepada ahlinya, kalau tidak tunggulah kehancurannya.”
Sejarah suram dan kelam ini cukuplah sudah dijadikan sebagai
bahan renungan bagi kita, bahwa ulama dengan ilmu dan kesantunan yang dimiliki
dalam episode tertentu harus takluk di bawah kelicikan, siasat dan stretegi
menghalalkan segala macam acara. Dan inilah bahagian dominan dari ciri praktik
politik. Lagi dan lagi, ulama menjadi korban.
Ikhtitam
Pertanyaan untuk menutup risalah ini adalah, bagaimanakah
peran ulama dalam kehidupan politik praktis ? Yang paling prinsip dari seluruh
perannya ialah bagaimana ia mampu membekali seluruh lapisan masyarakat-termasuk
politik-dengan kekuatan iman, sehingga permainan politiknya menjadi sarat
dengan norma agama, tidak menggunakan taktik yang licik dalam berpolitik. Dalam
bahasa yang sederhana, sesungguhnya diharapkan melalui peran ulama ini adalah
apa yang kita kenal dengan “berpolitik agama”, dimana melalalui perannya ia
berupaya agar dalam berpolitik, pemikiran dan aktivitas politik selalu dilapisi
dan di bawah kendali agama. Berbeda dengan orang yang “beragama politik” yang
menjadikan politik sebagai agamanya. Biasanya kalangan ini rajin memanfaatkan
agama untuk kepentingan politik dan kebutuhan-kebutuhan sesaat.
Peran ulama dalam pemerintahan dan negara sangat dibutuhkan.
Ulama harus dilibatkan dalam setiap perumusan dan pengambilan, penentuan
kebijakan yang menyangkut persoalan keumatan dan kebangsaan. Negara mutlak
memerlukan ulama dalam upaya mewujudkan masyarakat beragama yang adil dan
makmur. Selama politik masih dihadapkan kepada umat, masih berkaitan dengan
kehidupan umat, maka di situlah ulama hadir mengamalkan fungsinya sebagai
waratsah al-Anbiya. Dan di sisi lain bahwa stabilitas nasional mustahil akan
terwujud jika setiap elemen bangsa tidak berjalan secara sinergis dengan
cita-cita untuk membangun bangsa dan negara yang tercinta ini menjadi baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Kesimpulannya terserah Anda. Yang jelas, ulama berpolitik,
mengapa tidak ?
Wallahu A’lam
Penulis: Muhammad Nashir Syam
Wakil Sekretaris PCNU Ketapang