NU KETAPANG - “Hari Raya”nya kaum sarungan akan segera tiba. Tentu kita sikapi dengan penuh suka-cita, sekalipun tidak bisa dipungkiri “Hari Raya” ini akan jauh sekali berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Mengingat wabah Pandemi Covid-19 yang belum juga ada tanda-tanda segera mereda. Hari Raya kaum sarungan yang saya maksud, tentu Hari Santri Nasional atau HSN yang sejak tahun 2016 sudah istiqomah kita rayakan setiap tahunnya dengan sukacita dan penuh khidmat.
Untuk sekedar mengingatkan kita bersama, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI nomor 22 tahun 2015 ditetapkan bahwa tanggal 22 Oktober adalah peringatan HSN. Pada tahun 2016 tema HSN yang diangkat adalah “Dari Pesantren untuk Indonesia”. Tahun 2017 mengangkat tema “Wajah Pesantren Wajah Indonesia”, kemudian tahun 2018 tema yang diangkat adalah “Bersama Santri Damailah Negeri”. Kemudian tahun 2019 dengan tema “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”. Adapun tahun 2020 ini sebagaimana yang dirilis oleh Wakil Menteri Agama H. Zainut Tauhid Sa’adi pada tanggal 30 September 2020 kemarin mengangkat tema “Santri Sehat Indonesia Kuat”. Pastilah tema-tema yang diangkat setiap tahunnya memiliki dasar filosofi yang mendalam, sesuai dengan konteks pada masa itu dan spirit kaum santri yang senantiasa “melek” terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Jadi, dari “mengeja” tema HSN tahun ini pasti kita sudah bisa membaca hendak dibawa ke mana para santri di era kini.
Baca juga:
Jihad Ke-Dua, Mungkinkah ?
Resolusi Jihad yang digaungkan oleh para ulama, utamanya Hadhratussyeikh Hasyim Asy’ari konteksnya adalah melawan secara fisik agresi militer Belanda di Surabaya. Dan 22 Oktober menjadi momentum yang tidak bisa dilupakan, bahwa kumandang jihad fi sabilillah kaum sarungan itu menjadi cikal bakal heroisme 10 November 1945 yang selanjutnya kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Sangat tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa tanpa Resolusi Jihad mana mungkin ada peristiwa Sepuluh November.
Bagaimana dengan konteksnya sekarang ? Masih perlukah berjihad memanggul senjata bedil mengusir aggresor penjajah ? Rasanya tidaklah ya, justeru jihad era kini bagi kaum santri adalah maukah memulai dari diri masing-masing untuk menerapkan atau membiasakan diri dengan Pola Hidup Sehat atau PHS. Mengapa?
Kemampuan mengelola pondok pesantren bagi para pengasuh pesantren (sebut saja ustadz, kyai, ajengan, syeikh) dengan system manajemen pesantren “alakadarnya” tak diragukan lagi. Terbukti para alumni pesantren hampir semuanya berhasil menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat bagi umat dan masyarakat pada umumnya. Ada yang menjadi pedagang, pengusaha, pegawai pemerintah, swasta, tentara, advokat, politisi bahkan presiden. Tetapi kalau ada yang mempertanyakan, “bagaimana atau sejauhmanakah pondok pesantren mampu mengelola system penerapan pola hidup sehat” ini yang jawabannya perlu dicari tujuh hari tujuh malam. Kalau PHS dimaknai Pola Hidup Sederhana, maka pondok pesantren (dan otomatis para santrinya) memang sangat-sangat sederhana dan bahkan penuh dengan kebersahajaan. Tapi kalau PHS dimaknai Pola Hidup Sehat, maka lagi-lagi yang ini patut dicari jawabannya dengan cermat.
Baca juga:
Stigma santri dan pesantren “mengabaikan kesehatan” masih melekat. Ini yang menjadi pemikirakan penulis, bahwa dalam konteks kekinian perlu ada Jihad yang Ke-dua yakni Jihad untuk bersama-sama menerapkan Pola Hidup Sehat. Mulai dari sekarang, mulai dari hal-hal yang kecil dan mulai dari individu-individu. Bila serius ini dicanangkan, menjadi sebuah gerakan yang TSM (terstruktur, massif dan sistematis) maka stigma santri itu norak, pesantren itu kumuh dan jorok Insya Allah lama-lama akan menjadi ; santri itu keren banget. Pesantren itu oke banget. Pokoknya : “Tidak mondok, tidak keren……..”
Selamat Hari Santri Nasional… selamat berjihad menerapkan Pola Hidup Sehat.
Penulis : Muhammad Nashir Syam, M.Pd.I.
Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Ketapang