Mentradisikan Pola Hidup Sehat di Kalangan Santri


NU KETAPANG - “Hari Raya”nya kaum sarungan akan segera tiba. Tentu kita sikapi dengan penuh suka-cita, sekalipun tidak bisa dipungkiri “Hari Raya” ini akan jauh sekali berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Mengingat wabah Pandemi Covid-19 yang belum juga ada tanda-tanda segera mereda. Hari Raya kaum sarungan yang saya maksud, tentu Hari Santri Nasional atau HSN yang sejak tahun 2016 sudah istiqomah kita rayakan setiap tahunnya dengan sukacita dan penuh khidmat.


Untuk sekedar mengingatkan kita bersama, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI nomor 22 tahun 2015 ditetapkan bahwa tanggal 22 Oktober adalah peringatan HSN. Pada tahun 2016 tema HSN yang diangkat adalah “Dari Pesantren untuk Indonesia”. Tahun 2017 mengangkat tema “Wajah Pesantren Wajah Indonesia”, kemudian tahun 2018 tema yang diangkat adalah “Bersama Santri Damailah Negeri”. Kemudian tahun 2019 dengan tema “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”. Adapun tahun 2020 ini sebagaimana yang dirilis oleh Wakil Menteri Agama H. Zainut Tauhid Sa’adi pada tanggal 30 September 2020 kemarin mengangkat tema “Santri Sehat Indonesia Kuat”. Pastilah tema-tema yang diangkat setiap tahunnya memiliki dasar filosofi yang mendalam, sesuai dengan konteks pada masa itu dan spirit kaum santri yang senantiasa “melek” terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Jadi, dari “mengeja” tema HSN tahun ini pasti kita sudah bisa membaca hendak dibawa ke mana para santri di era kini.


Baca juga:


Tema “Santri Sehat Indonseia Kuat” sebagaimana yang disampaikan oleh Wamenag itu, sengaja diusung agar para santri termotivasi untuk tetap selalu menjaga kesehatannya  dan memotivasi mereka mencari solusi baru yang dirasa sangat urgen. Data menunjukkan ada 27 pesantren dari 10 provinsi di Indonesia sebanyak 1.489 santri positf Covid-19 . Sebanyak 969 dinyatakan sembuh, 519 dalam perawatan dan 1 orang meninggal dunia. Tapi ini bukan sekedar data, pondok pesantren sedari awal berdirinya sesuai dengan catatan sejarah sejatinya adalah agen perubahan sosial. Produk pesantren (maksud saya : alumni pesantren) kenyataannya turut serta mewarnai sejarah berdirinya republik ini. Hitam-putihnya negeri ini tidak lepas dari tokoh-tokoh nasional yang mendunia, yang notabene “cetakan” pesantren. Dan itu akan tetap menjadi catatan sejarah Indonesia dari masa ke masa. Baik dari aspek social, budaya, ekonomi apalagi dinamika politik maka kaum sarungan ini telah menunjukkan eksistensinya. Lalu bagaimana dengan masalah kepedulian terhadap kesehatan ?



Jihad Ke-Dua, Mungkinkah ?


Resolusi Jihad yang digaungkan oleh para ulama, utamanya Hadhratussyeikh Hasyim Asy’ari konteksnya adalah melawan secara fisik agresi militer Belanda di Surabaya. Dan 22 Oktober menjadi momentum yang tidak bisa dilupakan, bahwa kumandang jihad fi sabilillah kaum sarungan itu menjadi cikal bakal heroisme 10 November 1945 yang selanjutnya kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Sangat tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa tanpa Resolusi Jihad mana mungkin ada peristiwa Sepuluh November. 


Bagaimana dengan konteksnya sekarang ? Masih perlukah berjihad memanggul senjata bedil mengusir aggresor penjajah ? Rasanya tidaklah ya, justeru jihad era kini bagi kaum santri adalah maukah memulai dari diri masing-masing untuk menerapkan atau membiasakan diri dengan Pola Hidup Sehat atau PHS. Mengapa?


Kemampuan mengelola pondok pesantren bagi para pengasuh pesantren (sebut saja ustadz, kyai, ajengan, syeikh) dengan system manajemen pesantren “alakadarnya” tak diragukan lagi. Terbukti para alumni pesantren hampir semuanya berhasil menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat bagi umat dan masyarakat pada umumnya. Ada yang menjadi pedagang, pengusaha, pegawai pemerintah, swasta, tentara, advokat, politisi bahkan presiden. Tetapi kalau ada yang mempertanyakan, “bagaimana atau sejauhmanakah pondok pesantren mampu mengelola system penerapan pola hidup sehat”  ini yang jawabannya perlu dicari tujuh hari tujuh malam. Kalau PHS dimaknai Pola Hidup Sederhana, maka pondok pesantren (dan otomatis para santrinya) memang sangat-sangat sederhana dan bahkan penuh dengan kebersahajaan. Tapi kalau PHS dimaknai Pola Hidup Sehat, maka lagi-lagi yang ini patut dicari jawabannya dengan cermat. 


Baca juga:


Pasalnya, ilustrasi jamban (toilet ?) santri yang aduhai semerbaknya, bilik atau kamar tidur yang kumuh (jauh dari layak huni), sanitasi yang jorok dan sebagainya. Menjadi “seolah-olah ikon pesantren” di Indonesia. Sehingga ada sebuah guyon yang tidak lucu, seorang santri ; baru dikatakan hebat apabila pernah berpenyakit gatal-gatal (bahasa Jawa : Gudig), panu, kadas, kurap dan sejenisnya. Santri yang sedang berlibur, pulang ke kampung orang tua dalam keadaan segar bugar, gemuk dan kulitnya bersih … maka “kesantriannya” dipertanyakan. Tapi kalau melihat santri baru sebulan dua bulan mondok lantas berpenyakit gatal-gatal dan  badannya kurus kering maka dialah “santri yang sesungguhnya”. Seorang santri baru pasti mengeluh, sebab baru satu bulan di pesantren dia sudah 4 kali membeli sandal, pakaian dalam (maaf) dipakai sama kawannya “seolah-olah” milik bersama. Gambaran seperti ini menjadi hal yang lumrah bagi sebuah pernak pernik kehidupan di (dunia) pesantren. Tentu saja tidak semua, sebab saya perhatikan sudah banyak juga pondok pesantren yang benar-benar memperhatikan pola hidup sehat, WCnya bersih, tempat tidurnya tertib dan teratur serta makanannya higienis.


Stigma santri dan pesantren “mengabaikan kesehatan” masih melekat. Ini yang menjadi pemikirakan penulis, bahwa dalam konteks kekinian perlu ada Jihad yang Ke-dua yakni Jihad untuk bersama-sama menerapkan Pola Hidup Sehat. Mulai dari sekarang, mulai dari hal-hal yang kecil dan mulai dari individu-individu. Bila serius ini dicanangkan, menjadi sebuah gerakan yang TSM (terstruktur, massif dan sistematis) maka stigma santri itu norak, pesantren itu kumuh dan jorok Insya Allah lama-lama akan menjadi ; santri itu keren banget. Pesantren itu oke banget. Pokoknya : “Tidak mondok, tidak keren……..”


Selamat Hari Santri Nasional… selamat berjihad menerapkan Pola Hidup Sehat.


Penulis : Muhammad Nashir Syam, M.Pd.I.

Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Ketapang

Lebih baru Lebih lama
.



.