NU KETAPANG - Rasanya belum kering kening kita, basah oleh air suci wudlu untuk membersihkan seluruh jiwa raga seraya berserah diri, memasrahkan diri dan menambatkan hati. Tarawih dan witir ditegakkan, sholatullail-bangun di penghujung malam, memburu lailatul qadar; malam kemuliaan, memutar biji tasbih, memuji kebesaran Dzat penguasa alam, memohonkan dibukakan pintu ampunan dan beroleh kunci segala kebahagiaan.
Di surau-surau, musholla dan masjid-masjid kaum muslimin yang taat berlomba-lomba meniti kebaikan untuk menerima dengan hangat tamu yang sangat agung, yakni Syahru Ramadhan. Gelap, hujan gerimis atau bahkan gersang berdebu, bukanlah alasan bermalas-malasan bermesraan dengan sang Khaliq yang Maha Rahman. Rasanya belum hilang dari jiwa kita, betapa jalinan kasih sayang kita eratkan sebagai penyempurna ibadah shiyam. Kita berjabat tangan dengan mesra antar sesama.
Baca juga:
Kita bertanya pada diri kita masing-masing… wahai diri, apakah yang harus aku kerjakan, manakala Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita? Apakah witir dan sholatullail tetap kita tegakkan? Apakah tadarrus al-Qur’an tetap kita kumandangkan? Apakah ta’lim dan tarbiyah di masjid tetap dilaksanakan? Lalu apakah jalinan jabat tangan kita menyisakan dendam? Seyogyanya, keagungan, keindahan dan kesyahduan Ramadhan mampu secara terus menerus menghiasi pribadi dan perilaku kita dalam menata kehidupan yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Mari kita simak pelajaran yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita dalam surah an-Nahl ayat 92; ada seorang perempuan yang dari hari ke hari ia memintal benang, merajut selembar demi lembar. Lama-lama dari ratusan ribu benang itu jadilah selembar kain, indah nian untuk mempercantik badan. Tetapi ternyata si perempuan tadi mengurai kembali benang-benang yang sudah dirajut atau dipintalnya. Begitu seterusnya. “… dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi berceraiberai kembali……….” (QS. An-Nahl : 92).
Akankah ibadah yang kita pupuk selama Ramadhan, pribadi-pribadi muttaqien yang kita bentuk dalam bulan Ramadhan mampu kita pertahankan pasca Ramadhan. Ataukah amaliyah Ramadhan yang lalu hanya sebatas rutinitas dan acara seremonial belaka? Saling memaafkan hanyalah sebatas penghias bibir, sementara di dalam hati tetap menggelora dendam membara. Tarawih dan witir hanya sebatas atraksi gerak badan semata-mata. Mari kita renungkan,
Baca juga:
Baca
|
Sudah dua kali Ramadhan dan Idul Fitri kita lalui dalam masa Pandemi, menguji seberapa besar tingkat kesabaran hamba-hamba Allah ash-shoimin wash-shoimat. Sangat miris hati kita, diantara kita masih saja memperdebatkan si Corona ; ada engga sih ? jangan-jangan ini Cuma konspirasi global dan pembodohan. Terus menerus, diksi diksi itu berkembang dan masih berkembang di antara kita. Padahal korban terus menerus bertambah. Mari kita sudahi perdebatan ini, saatnya Pasca Ramadhan kita bersatu kembali, menyamakan persepsi dan aksi.
Apa yang engkau sedihkan wahai para hamba, manakala Ramadhan berakhir ? padahal tahun depan pasti akan datang kembali. Iya benar, tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya Ramadhan akan datang lagi. Tapi apakah kita masih diberi kesempatan untuk menyambut dan menikmati kesyahduannya ?
Wallahu A'lam.
Ketapang, 14 Mei 2021
Penulis: Muhammad Nashir Syam
Wakil Sekretaris Tanfidziah PCNU Ketapang