NU : Antara Jam'iyah dan Jama'ah


NU KETAPANG - Dua pilar utama yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama, yang boleh jadi tidak dimiliki oleh ormas Islam manapun ialah jam’iyah dan jama’ah. Keduamya menyatu kuat, menjadikan organisasi ini tetap eksis (bahasa santrinya : tetap berkhidmat) hingga usia hampir mendekati satu abad. Tidak berlebihan sekiranya dikatakan ormas Islam NU adalah organisasi Islam terbesar di dunia, ini karena ditopang oleh dua pilar tadi : jam’iyah dan jama’ah.


Sebagai sebuah jam’iyah (organisasi), Nahdlatul Ulama memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap. Dari mulai tingkatan terkecil, yakni ranting untuk tingkat desa. Majelis Wakil Cabang untuk tingkat kecamatan, Pengurus Cabang dan Wilayah untuk tingkat kabupaten/kota dan provinsi serta Pengurus Besar untuk tingkat pusat. Demikian pula cabang-cabang yang dibentuk di luar negeri, yakni pengurus cabang istimewa yang kini telah berdiri hampir di seluruh Eropa, Asia dan Afrika, apalagi di Timur Tengah. Apa rahasianya ? Karena NU memiliki jama’ah yang jelas, terarah, terukur dan kekuatan ideologi dan doktrin Ahlus sunah waljama’ah yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, melebur dengan budaya lokal tanpa menghilangkan prinsip esensi doktrin fundamentalnya. Dengan kaidah dasar yang sangat familiar di kalangan mereka : “al-muhafadhatul ‘alal qodimish shohih wal ahdzu biljadidil ashlah” : merawat tradisi yang baik, serta mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.


Dengan dua kekuatan pilar itulah (jam’iyah dan jama’ah, struktural dan kultural), NU mampu mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang universal dengan frame budaya lokal. Sehingga KH. Said Aqil Siraj sering mengatakan, Islam memang berasal dari Arab. Al-Qur’an yang kita imami bersama adalah Bahasa Arab. Tapi kita “tidak harus” berpakaian ala Arab, kita “tidak harus” berbudaya seperti budaya Arab. Karena sejatinya budaya merekapun ada yang sesuai dengan Islam dan ada yang sebaliknya. Gus Dur-pun pernah bercerita bahwa, pondok-pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara didiirikan oleh para kyai dengan nafas kenusantaraan yang kuat. Nama pesatrennya tidak ada yang menggunakan nama  Arab, untuk sekedar contoh : Pondok Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Pondok Pesantren Lasem, Pondok Pesantren Rembang dan lain sebagainya. Umumnya diberi nama dengan mengambil nisbah nama desa tempat pesantren itu berdiri. Kyai-nyapun tidak berbusana ala Arab (cukup memakai kain sarung, baju koko, kopiah/kupluk), kecuali yang sudah haji beberapa bersurban.


Baca juga:


Bagaimana “mendeteksi” kekuatan jama’ahnya ? Sangat mudah. Apabila tradisi membaca deba’iyah atau barzanji masih ramai, istighotsah sughro dan kubro diadakan di mana-mana, tahlil, selamatan “beruah” , qunut shalat shubuh, dzikir setelah shalat dinyaringkan dan sebagainya. Berarti kekuatan jama’ahnya masih kental. Tinggal tantangan ke depannya adalah bagaimana kekuatan jam’iyahnya lebih diperkokoh lagi. Dengan manajemen organisasi yang lebih modern, berbasis teknologi tapi tetap dijiwai kearifan local/kultural. 



Menggagas dengan Paradigma Baru, Mungkinkah ?

Dengan berpijak pada dua kekuatan di atas, sudah saatnya kader NU menggagas dengan paradigma baru. Bagaimana membawa NU ke depan, agar lebih lentur sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan tidak menafikan ruh khitthah 1926 tapi berpijak pada realita zaman.


Pertama. Jangan terlalu merisaukan kalau ada kader NU masuk suktur partai politik (selain PKB), karena sejatinya keterwakilan suara NU bisa diamanahkan bukan semata-mata untuk partai tertentu. Betul memang, PKB dilahirkan dari rahim NU. Tapi jangan lupa pula bahwa Gus Dur dulu pernah “menggugat” partai itu, dan ujung-jungnya banyak kader “assabiqunal awwalun” hengkang dan hijrah ke partai lain, bahkan membuat partai baru. Dan di banyak Pilkada di beberapa daerah, justeru banyak kader NU yang justeru diusung oleh bukan PKB. Jadi, apanya yang salah kalau kader NU ada yang menjadi anggita DPR dari PKS ? tidak ada yang salah apabila seorang kader NU justeru menjadi pengurus PDIP, Golkar, Hanura atau partai lainnya. Karena kader NU sudah teruji militansinya, loyalitas kepada kyai dan teruji ke-aswaja-annya.


Kedua. Demikian pula seandainya tradisi ke-NU-an sudah banyak diadopsi oleh komunitas Islam lainnya. Bukanlah sesuatu yang berbahaya menurut hemat saya, justeru sebagai nahdliyin kita patut berbangga, bahwa klaim NU adalah rumah besar umat Islam seratus persen benar adanya. Tidak sebagaimana sebuah parpol yang berslogan “rumah besar umat Islam” tapi nyatanya berantem terus pengurusnya karena berebut kursi dan bahkan pimpinan tertingginya tersangkut kasus korupsi.


Baca juga:


Ketiga. Akibat pasar bebas yang melanda dunia, efeknya dirasa juga oleh kader muda NU. Peluang beasiswa untuk belajar diluar negeri bukan semata-mata di Timur Tengah tapi juga ke Barat, semisal Amerika, Canada dan Belanda. Melahirkan sarjana yang berfikir kritis dan liberal (dalam konteks yang positif). Mau tidak mau sangat dirasakan oleh NU. Kemunculan tokoh-tokoh muda NU yang agak memiliki pemikiran “nakal” adalah sebuah keniscayaan. Munculnya Jaringan Islam Liberal atau JIL misalnya yang notabene digagas oleh (kebanyakan) anak-anak muda NU kala itu. Dan sempat mendapatkan “teguran keras” dari sesepuh NU justeru sejatinya mewarnai khazanah pemikiran keislaman “ke-NU-an” itu sendiri. Jadi, “mengeja” kembali ke khitthah 1926 itu perlu istikharah lagi kah ?


Keempat. Diskursus khilafah dalam konteks kajian ilmiah sesungguhnya bukan sesuatu yang dilarang. Karena bab “khilafah” adalah termasuk pasal-pasal fiqih yang banyak ditulis oleh Ulama yang menjadi rujukan NU juga. Tentu ini tidak dalam konteks bagaimana merumuskan mengganti Pancasila. Karena dasar negara Indonesia sudah final. Dan komitmen NU dan nahdliyin dalam konteks NKRI sudah tidak diragukan lagi. 


Kelima. Adanya fenomena liar, kemunculan NU Garis Lurus atau sejenisnya seharusnya dijadikan agenda wacana kita bersama. Sebab hal itu mucul pasti ada asbabnya. Tidak ditanggapi secara apriori, cuek atau dibiarkan liar ke-mana-mana. Perbedaan pendapat (atau fikrah) dalam tradisi ke-NU-an sebenarnya bukan sesuatu yang asing, tinggal bagaimana ghirah yang ramai di tengah-tengah jama’ah itu disikapi lebih bijak oleh saudara-saudara kita yang di jam’iyah. Dengan kearifan mengelola potensi konflik fainsya Allah gesekan-gesekan yang mengemuka tidak dimanfaatkan atau diambil kesempatan untuk memecah belah oleh kalangan “khawarij” zaman now. 


Alhasil, fikrah NU itu elastis dan dinamis. Doktrin Aswaja An-Nahdliyah bias diejawantahkan seiring dengan kearifan local dan pergerakan kultural. Karena NU memiliki dua kekuatan pilar : Jam’iyah dan Jama’ah.

Wallahul Muwafiq,


Ketapang, 30/10/2020


Penulis: Muhammad Nashir Syam

Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Ketapang


Lebih baru Lebih lama
.



.