ISLAM NUSANTARA ; WHAT IS THAT …?

 


Oleh : Muhammad Nashir Syam

Wakil Sekretaris PCNU Ketapang


NU KETAPANG - “Islam Nusantara is a model of thought, comprehension and implementation of Islamic teachings covered by culture and tradition developed in Southeast Asia, that reflects Islamic identity with methodological nuance” (Mujamil Qomar, el-Harakah 2015).


Islam Nusantara merupakan model pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang dikemas melalui pertimbangan budaya atau tradisi yang berkembang di wilayah Asia Tenggara, sehingga mencerminkan identitas Islam yang bernuansa metodologis.


Agama barukah ? Kalau kita eja narasi di atas jelas bukan aliran atau sekte bahkan (apalagi) agama baru. Tapi tak lebih dari sebuah manhaj (term yang dipakai oleh Buya Said Aqil) atau metodologi ber-Islam ala Nusantara (spesifik : Indonesia). Tetapi bisa jadi, bagi yang niatnya mau mengolok-olok dan menggiring opini seolah-olah Islam Nusantara itu agama baru yang layak diwaspadai dan bahkan dilarang penyebarannya.


Sejatinya kalau ditelisik substansinya, Islam Nusantara itu bukan “barang” baru. Dia adalah produk lama dengan kemasan baru, utamanya pasca Muktamar NU 2015 di Jombang yang melahirkan gagasan perlunya menghidupkan kembali dan menguatkan manhaj Islam Nusantara, di tengah arus dinamika global di mana penganut agama menjadikan keyakinannya sebagai sebuah doktrin yang kaku, formalistik dan simbolistik. Gagasan dari Muktamirin Jombang 2015 itu menuai pro dan kontra. Bukan hanya mereka yang di luar NU tapi justeru diinternal NU sendiri terjadi silang pendapat. Gus Mus ketika didesak oleh ponakannya yaitu Gus Yahya (sekarang : Ketua PBNU) perihal apa ta’rif Islam Nusantara, dengan ringan beliau mengatakan ; biarkan orang menafsirkan sendiri, nanti juga akan kita temukan titik terangnya. Nah… maka menggelindinglah istilah itu secara liar. Dengan definisi yang beragam. Lagi-lagi, inilah kiat jitu dari sesepuh NU supaya “para santrinya” belajar dan belajar terus.


Yang berada di luar pagar, tentu kondisi ini dimanfaatkan untuk dijadikan wacana panas. Dengan asumsi : Islam itu satu. Terminologi Islam Nusantara secara bahasa akan mereduksi makna Islam hanya sekadar (sebatas) Nusantara. Secara ideologis, istilah itu mengindikasikan ada Islam-Islam yang lain, misalnya Islam Arab, Islam Persi, Islam Eropa, Islam Amerika, Islam Tiongkok dan lain-lain. Yang pada akhirnya terseret pada opini bahwa Islam itu plural, relatif dan tidak mutlak.


Warna khas budaya lokal (kearifan lokal) dalam pengamalan fiqih yang lahir dari dialektika nash, syari’at dan ‘uruf di manapun bukanlah alasan pembenaran untuk menciptakan suatu sifat “Islam yang baru” hanya berdasarkan perbedaan-perbedaan itu. Jangan terjebak pada keindahan istilah, tapi lantas terseret pada pola pikir yang salah. Benarkah ?


Kalau kita cermati, sebenarnya mereka yang tidak setuju atau nyinyir terhadap Islam Nusantara itu karena ketidaktahuan atau ketidakmengertian mereka terhadap terminologi yang dimaksud. Saya mengelompokkan mereka ke dalam 2 (dua) kelompok;

Kelompok pertama : tidak tahu dan tidak mau tahu atau tidak mencari tahu.

Kelompok kedua : tidak tahu tapi sok paling tahu.


Kelompok pertama ini golongan orang-orang awam, yang amaliah keagamaannya praktis, pragmatis dan simpel. Tidak mau ribet dengan “konsep-konsep” yang membingungkan. Beragama itu sederhana, ikuti saja apa yang diajarkan oleh para pembimbing dan guru-guru terdahulu. Baik-buruk, baik-jahat bahkan surga neraka itu persoalan yang simpel, kenapa dibikin susah ?


Yang bahaya itu kelompok kedua : sebenarnya mereka tidak tahu (dan tidak mencari tahu atau tidak berusaha mencari tahu) tapi sok paling tahu. Maka muncullah pernyataan-pernyataan penentangan. Kalau dibantah secara argumentatif, tak masalah. Tapi kalau sudah didasari kebencian maka yang terjadi pengaburan esensi sesungguhnya dari ruh Islam Nusantara itu sendiri. 


Kelompok-kelompok tertentu memanfaatkan media sosial untuk menstigma Islam Nusantara itu seolah sebagai sebuah gerakan pembenaran tradisi leluhur nusantara yang turun temurun, mereka lupa bahwa justeru dalam konteks sejarah Islam berkembang di Nusantara salah satu metodenya adalah dengan pendekatan budaya. Para penyebar Islam (misalnya Wali Songo) pada sepanjang abad 14 dan 15 masehi memperkenalkan Islam yang ramah, moderat dan penuh toleransi. Dengan pendekatan budaya (dan tradisi serta kearifan lokal) justeru Islam lebih cepat membumi di Nusantara. Manhaj, metode inilah yang sesungguhnya ingin dijadikan sebagai sebuah “role model” pada masa kini, di tengah-tengah suasana warga dunia memahami agama sebagai doktrin yang kaku, seolah kelompok lain yang berseberangan dengannya dijamin “masuk neraka”.


Islam Nusantara merupakan cara melaksanakan Islam melalui pendekatan kultural, sehingga merawat dan mengembangkan budaya (atau tradisi) local yang sesuai dengan ajaran Islam, dan berusaha mewarnai budaya local itu dengan nilai-nilai Islam manakala budaya itu masih belum senafas dengan Islam. Islam sangat menghargai kreasi-kreasi kebudayaan masyarakat, sejauh tidak menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, ia tetap dipertahankan. Namun jika budaya itu mencederai martabat kemanusiaan, ia harus ditolak. 


Pemikiran, pemahaman dan pengamalan Islam di Indonesia ini menunjukkan kesejukan dan kedamaian, setidaknya bisa dilihat dan ekspresi kalangan mayoritas Muslim di negeri ini sebagai mainstream bagi umat Islam. Kesejukan, kedamaian dan keramahan Islam ini telah berlangsung berabad-abad yang lampau hingga sekarang ini.


Sampai di sini sudah jelaslah bahwa, bukanlah Islam Nusantara itu orang yang shalat menggunakan bahasa Indonesia (atau bahasa local/daerah), atau contoh-contoh lain yang sering disampaikan oleh orang-orang sebelah yang memang tidak suka dengan ide, gagasan dan amaliah Nahdliyin.


Esensi Islam Nusantara adalah ; kearifan local (budaya, tradisi) yang baik dan tidak menyimpang dari ajaran Islam tetap dirawat dan bahkan dilestarikan. Kemudian mengambil yang baru, yang lebih baik : “Al-muhafadzatu 'alal qadimish shahih wal ahdzu biljadidil ashlah”. ***


Wallahu A’lam.

Lebih baru Lebih lama
.



.