Merenungi Kearifan Syeikh Arsyad Al Banjari Dalam Menebar Cahaya Tuhan



NU KETAPANG - Syawal sudah mulai bergeser menuju akhir bulan nya. Suasana lebaran di kampung kampung sudah berganti menjadi aktifitas lama seperti sebelum bulan romadhon tiba.
 
Di beberapa daerah indonesia pasca hari raya idul fitri kemarin ada yang merayakan "Syawalan" sebuah tradisi yang dilakukan seminggu setelah lebaran. Ada yang menyebut nya syawalan ada juga yang menyebutnya dengan lebaran ketupat. Tradisi ini di mulai oleh wali songo dengan menutup rumah sehari atau dua hari selepas idul fitri untuk menjalankan puasa sunah 6 hari bulan syawal. Tepat setelah mereka selesai puasa syawal di adakan lah acara rame rame seperti pada saat hari raya idul fitri, hanya beda nya tidak ada sholat id dan takbiran nya. Acara itu di isi dengan berbagai macam acara yang sesuai tuntunan agama.

Ada yang pawai, ada yang membuat ketupat raksasa lalu dipotong rame rame dan ada yang menyediakan makanan di sepanjang jalan bagi orang orang yang berlalu lalang dengan semangat bersedekah, bersyukur telah menyelesaikan romadhon dengan menyempurnakannya melalui puasa syawal dan menjalin tali silaturrohmi.

Itu semua adalah kearifan lokal nusantara yang tidak bertentangan dengan nilai agama. Walaupun ada sekelompok orang yang memaknai nya dengan sebutan "bid'ah" dan tidak di ajarkan nabi. Sebenarnya kita tidak perlu mempertentangkan antara hukum agama dengan nilai nilai agama.

Sebagai contoh idul fitri itu hukum agama sedang pawai takbir keliling itu budaya. Sholat id itu hukum agama sedang perayaan syawalan itu adalah budaya yang masih dalam koridor "direstui" oleh nilai nilai ajaran agama.

Adanya perdebatan dan konflik yang terjadi antara kubu kubu ideologis dan sampai masuk dalam ranah politik beberapa  lalu yang mengharu biru sampai adanya korban jiwa kemarin itu sebenarnya tidak lebih dari "konflik kepentingan dalam skala makro dan perebutan lahan kapling proyek" saja . Jadi tidak perlu hal yang berbeda itu kemudian di pertentangkan dan menjadi penyulut ada nya kekacauan.

Karena terkadang makna kontekstuil itu lebih ampuh dan lebih nyaman di pakai dari pada kita terlalu kolot memegang sesuatu ajaran yang "tekstuil". Karena filosofi yang ada itu terkadang lebih fleksibel untuk diterapkan dalam keseharian.

Kita ambil sebuah contoh kecil saja, dalam menetapkan lambang negara indonesia, bangsa indonesia mengambil lambang burung garuda yang menurut filosofis kata nya bulu bulu dari burung garuda itu melambang kan tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan bangsa indonesia.

Secara filosofis bisa diterima walau terkadang ada pemikiran yang "nakal" apakah burung garuda lambang negara itu jantan atau betina, dan bagaimana jika tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan bangsa indonesia itu bukan tanggal 17, bulan 8 dan tahun 1945 tapi tanggal 1 bulan 01 dan tahun 1901, akan menjadi kasihan burung garuda nya itu bulu bulu nya hanya sedikit.

Tapi karena ini adalah masalah lambang yang bernilai filosofis maka harus di paskan saja dan tidak perlu di kritisi secara radikal. Itu semua di sesuaikan dengan kearifan lokal dan nilai nilai budaya yang di anut oleh bangsa indonesia.

Kearifan lokal dan nilai nilai budaya itulah yang dijadikan oleh para penyebar agama dan para ulama jaman dahulu untuk menyebarkan cahaya Tuhan di bumi nusantara.

Dalam beberapa literatur sejarah, disebutkan bahwa para leluhur kita dalam menyebarkan cahaya Tuhan menganut prinsip "mancing iwak tanpo mbutekke banyune" (memancing ikan tanpa harus mengeruhkan airnya) artinya tujuan akhir mereka tercapai tanpa harus menimbulkan kegaduhan dan keresahan publik.

Syeikh Arsyad Al Banjari adalah salah satu tokoh di bumi borneo yang menganut strategi itu dalam syi'arnya. Beliau mentransfer pengetahuan agama islam dari "kode kode arab" menjadi "bahasa nusantara". Ini beliau lakukan mengikuti pola yang di ajarkan oleh para wali songo.

Bersama Syeikh Kholil Bangkalan dengan pola pesantren salafnya yang memakai budaya arab berkombinasi budaya jawa terlahirlah ilmu gramatika arab dengan rasa jawa yang sampai sekarang diterapkan di pesantren pesantren jawa dengan pola " utawi untuk mubtada', iku untuk penyebutan khobar dan lain lain.

Apa yang dilakukan oleh Syeikh Kholil di terapkan juga oleh Syeikh Ahmad Rifa'i dengan ajaran Tarojuman nya yang menerjemahkan teks teks arab menggunakan bahasa jawa seluruhnya dalam kitab kitab beliau.

Syeikh Arsyad Al Banjari dari borneo memakai kearifan lokal bumi borneo dengan menerjemahkan seluruh kitab kitab beliau dari bahasa arab menjadi "arab melayu", seperti kitab Sabilal muhtadin, atau kitab kitab yang senada dengan beliau dari para pengikutnya, semacam kitab perukunan melayu, mujarobat melayu, dan durotun nafis.

Dahulu kala kitab kitab itu menjadi rujukan wajib bagi msyarakat melayu dari kalangan istana sampai pada rakyat jelata. Karena dengan memakai itu, masyarakat borneo tidak akan kesulitan dalam memperoleh pengetahuan tentang agama dan cahaya Tuhan yang tadinya berkode arab sudah berganti dengan bahasa keseharian mereka yaitu arab melayu.

Akan tetapi karya beliau yang dulu sangat populer di masyarakat borneo, sekarang mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat dan kalangan muda bumi borneo. Sehingga pesan pesan agama yang beliau buat jaman dahulu, menjadi hilang di masyarakat karena ke engganan anak jaman sekarang untuk merawat, mempelajari dan mewarisi peninggalan dari beliau. Ini adalah hal yang sangat memprihatinkan jika terus menerus berlangsung.

Peninggalan beliau itu paling tidak bisa untuk membentengi sebagian besar masyarakat awam bumi borneo yang tidak pernah tersentuh oleh dunia pesantren yang telah banyak berdiri di bumi borneo, akan tetapi dengan menggunakan pola bahasa arab dan pola pesantren ala jawa,
hingga mereka tidak punya pegangan seperti orang tua tua jaman dahulu dalam bidang agama dan mudah terprovokasi dengan isu isu ajaran baru yang masif di dunia maya.

Mungkin sudah saat nya kita kembali " Merenungi kearifan Syeikh Arsyad Al banjari dalam menebar cahaya Tuhan" dimasa lalu itu dengan cara memviralkan kembali kepada masyarakat dan anak muda bumi borneo pada karya karya dan ajaran ajaran beliau, serta mendorong masyarakat kalangan muda bumi borneo untuk secara masif dan terstruktur mempelajari tulisan arab melayu supaya tidak sia sia perjuangan beliau dan tidak hilang warisan yang ditinggalkan beliau dalam membentengi masyarakat bumi borneo dengan ajaran ahlussunnah wal jama'ah.

Penulis: Ust. Iman Setiadi, S.Ag.
A’wan PCNU Ketapang


Lebih baru Lebih lama
.



.