NU KETAPANG - Pada dekade belakangan ini banyak terjadi gerakan masa yang
membawa atribut agama dan mengatas namakan agama. Siapa yang tidak mengikuti
mereka dianggap sebagai penentang agama, penista agama, pembela penista dan dianggap sebagai
"hizbusyaithon".
Terjadinya fenomena itu disebabkan karena banyak keluarnya
fatwa yang "tergesa gesa" dan tidak berdasarkan kaidah fatwa yang
benar sehingga menimbulkan kontroversi dan tidak membawa rahmat bagi alam
semesta. Meminjam istilah pegadaian
bahwa fatwa "misterius" model seperti itu tidak menyelesaikan masalah
tanpa masalah tapi sebaliknya "menambah masalah dengan masalah baru.
Pada jaman dahulu tidak semua orang bisa berfatwa. Hanya orang orang yang di anggap kredibel
mempunyai "kedalaman" pemahaman agama dan punya legalitas ke
ulama'an dibuktikan dengan karya ilmiyah
kitab Agama, telah melakukan pengabdian dengan agama, masyarakat, pendidikan melalui pengajian dan pesantren
serta masuk jajaran elit ulama' yang diakui oleh publik, itu yang di anggap
bisa untuk berfatwa.
Berbeda di jaman sekarang. Semua orang berusaha untuk
berfatwa dengan kekuatan media sosial dan internet mereka mentahbiskan diri
menjadi seorang ulama karbitan.
Keulama'an mereka akhirnya menjadi polemik ditengah tengah masyarakat.
Karena akar pendidikan mereka bukan alumni pesantren, berpengetahuan hanya melalui copy paste
google, dan memperdalam dalil dari share media sosial sampai pada mengeluarkan
fatwa yang aneh.
Memang ada yang beranggapan menjadi anak pesantren itu tidak
wajib hukum nya yang wajib itu adalah "faqih dalam agama" karena Nabi
pernah bersabda "man yuridillah bihi khoiron yufaqihhu fiddin"
(barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik maka
akan difahamkan kepada masalah agama) yang menjadi mukodimah pada setiap kitab
kitab fikih.
Belajar agama bisa saja tidak melalui pesantren karena
sejarah pesantren yang resmi baru terjadi pada masa tabi'in dan tabi'tabi'iin.
Walaupun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jaman Nabi sudah ada yang
mirip dengan pesantren yaitu "ashabussufah" (para sahabat yang
membuat pondokan dan tinggal di sekitar masjid Nabi untuk belajar agama).
Para ulama di daerah pulau borneo pada jaman kerajaan banyak
juga yang memusatkan pengajaran agama di masjid dan surau tidak di pesantren
karena karakteristik budaya nya memang seperti itu pada jaman dahulu.
Boleh saja kita belajar dan memperdalam agama tidak
dipesantren, akan tetapi kita harus berguru dengan seorang ulama yang punya
keilmuan agama yang dalam dan jelas silsilah sanad keilmuannya sampai kepada
rosulullah. Apabila tidak ada ulama yang model seperti itu maka lebih bagus
bahkan wajib untuk masuk pesantren yang mempunyai nasab dan silsilah sanad
keilmuan jelas sampai Nabi dari guru gurunya.
Mengikuti kaidah ushul fiqih "maa yatawassalu
Bihil waajib fahuwa waajib" (sesuatu yang bisa
menyampaikan pada sebuah kewajiban maka sesuatu itu dihukumi wajib). Artinya
apabila dengan masuknya kita ke pesantren kita bisa mempelajari ilmu agama
dengan baik dan benar maka hukum masuk pesantren menjadi wajib.
Maka dalam menyambut hari santri dibulan oktober nanti, mari
kita ramaikan pesantren pesantren dengan generasi penerus kita supaya terhindar
menjadi "polemik ulama' karbitan" yang mengeluarkan fatwa aneh dan
dholun mudhillun (sesat dan menyesatkan) karena sekarang pesantren sudah bukan
menjadi lembaga pendidikan kelas dua lagi di NKRI setelah di sahkan nya RUU
Pesantren.
Semoga pesantren dimasa depan mampu menjadi rujukan utama
pendidikan di negeri ini untuk kalangan muslim dan mampu mencetak para ulama
yang menjadi pengayom umat, menjadi sesuluh ditengah kegelapan dan rahmatal lil
'aalamiin.
Penulis: Iman Setiadi, S.Ag.
Wakil Katib PCNU Kabupaten Ketapang