Polemik Munculnya Para Ulama Karbitan Mendekati Hari Santri Nasional 2019



NU KETAPANG - Pada dekade belakangan ini banyak terjadi gerakan masa yang membawa atribut agama dan mengatas namakan agama. Siapa yang tidak mengikuti mereka dianggap sebagai penentang agama, penista agama,  pembela penista dan dianggap sebagai "hizbusyaithon".

Terjadinya fenomena itu disebabkan karena banyak keluarnya fatwa yang "tergesa gesa" dan tidak berdasarkan kaidah fatwa yang benar sehingga menimbulkan kontroversi dan tidak membawa rahmat bagi alam semesta.  Meminjam istilah pegadaian bahwa fatwa "misterius" model seperti itu tidak menyelesaikan masalah tanpa masalah tapi sebaliknya "menambah masalah dengan masalah baru.

Pada jaman dahulu tidak semua orang bisa berfatwa.  Hanya orang orang yang di anggap kredibel mempunyai "kedalaman" pemahaman agama dan punya legalitas ke ulama'an  dibuktikan dengan karya ilmiyah kitab Agama, telah melakukan pengabdian dengan agama, masyarakat,  pendidikan melalui pengajian dan pesantren serta masuk jajaran elit ulama' yang diakui oleh publik, itu yang di anggap bisa untuk berfatwa.

Berbeda di jaman sekarang. Semua orang berusaha untuk berfatwa dengan kekuatan media sosial dan internet mereka mentahbiskan diri menjadi seorang ulama karbitan.  Keulama'an mereka akhirnya menjadi polemik ditengah tengah masyarakat. Karena akar pendidikan mereka bukan alumni pesantren,  berpengetahuan hanya melalui copy paste google, dan memperdalam dalil dari share media sosial sampai pada mengeluarkan fatwa yang aneh.

Memang ada yang beranggapan menjadi anak pesantren itu tidak wajib hukum nya yang wajib itu adalah "faqih dalam agama" karena Nabi pernah bersabda "man yuridillah bihi khoiron yufaqihhu fiddin" (barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik maka akan difahamkan kepada masalah agama) yang menjadi mukodimah pada setiap kitab kitab fikih.

Belajar agama bisa saja tidak melalui pesantren karena sejarah pesantren yang resmi baru terjadi pada masa tabi'in dan tabi'tabi'iin. Walaupun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jaman Nabi sudah ada yang mirip dengan pesantren yaitu "ashabussufah" (para sahabat yang membuat pondokan dan tinggal di sekitar masjid Nabi untuk belajar agama).

Para ulama di daerah pulau borneo pada jaman kerajaan banyak juga yang memusatkan pengajaran agama di masjid dan surau tidak di pesantren karena karakteristik budaya nya memang seperti itu pada jaman dahulu.

Boleh saja kita belajar dan memperdalam agama tidak dipesantren, akan tetapi kita harus berguru dengan seorang ulama yang punya keilmuan agama yang dalam dan jelas silsilah sanad keilmuannya sampai kepada rosulullah. Apabila tidak ada ulama yang model seperti itu maka lebih bagus bahkan wajib untuk masuk pesantren yang mempunyai nasab dan silsilah sanad keilmuan jelas sampai Nabi dari guru gurunya.

Mengikuti kaidah ushul fiqih "maa yatawassalu
Bihil waajib fahuwa waajib" (sesuatu yang bisa menyampaikan pada sebuah kewajiban maka sesuatu itu dihukumi wajib). Artinya apabila dengan masuknya kita ke pesantren kita bisa mempelajari ilmu agama dengan baik dan benar maka hukum masuk pesantren menjadi wajib.
Maka dalam menyambut hari santri dibulan oktober nanti, mari kita ramaikan pesantren pesantren dengan generasi penerus kita supaya terhindar menjadi "polemik ulama' karbitan" yang mengeluarkan fatwa aneh dan dholun mudhillun (sesat dan menyesatkan) karena sekarang pesantren sudah bukan menjadi lembaga pendidikan kelas dua lagi di NKRI setelah di sahkan nya RUU Pesantren.

Semoga pesantren dimasa depan mampu menjadi rujukan utama pendidikan di negeri ini untuk kalangan muslim dan mampu mencetak para ulama yang menjadi pengayom umat, menjadi sesuluh ditengah kegelapan dan rahmatal lil 'aalamiin.

Penulis: Iman Setiadi, S.Ag.
Wakil Katib PCNU Kabupaten Ketapang

Lebih baru Lebih lama
.



.