Ketika Waliullah Bertanya Arti Mimpinya



NU KETAPANG - "Aku bermimpi berada di dalam kandang ternak, sedang membuat sebuah tongkat, namun tubuh tak berpakaian sehelaipun" cerita seorang tamu pada Ibnu Sirrin.

Abu Bakar Muhammad Ibnu Sirrin mengangguk - angguk, sembari memandang lekat pada lawan bicaranya. Ibnu Sirrin adalah Ahli Fiqih dan Perawi Hadits di masa Tabi'in. Tapi yang membuat orang di hadapannya bertamu adalah karena kepakarannya memaknai mimpi. Yang membuatnya terkenal.

Ibnu Sirrin memicingkan mata, ujung imamah putihnya melambai lembut dari juntaian, lantas selarik senyum menghiasi bibirnya, dia berkata "Pulanglah, katakan pada orang yang bermimpi itu, jangan menyuruh orang lain bertanya pada saya"

Orang yang bertanya mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Tapi dia segera memahami, bahwa Ibnu Sirrin telah mengetahui rahasianya.

"Katakan pada orang yang bermimpi itu" kata periwayat hadits dari Abdullah Bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah ini kemudian, "datanglah sendiri, pada orang yang berjalan dengan lagak sombong ini." Katanya sembari memegang dada kiri dan menundukkan kepala. Angin laut teluk persia sekali lagi menerbangkan imamah putihnya.

Orang yang bertanya tersenyum, ya Ibnu Sirrin bahkan telah tahu, siapakah yang menyuruhnya bertanya takwil mimpi yang demikian. Seorang penting lainnya di kota Basrah.

Yang tak begitu menyukai Ibnu Sirrin, "yang seperti berlagak sombong" itu, katanya.
Ibnu Sirrin padahal tak pernah berlagak demikian. Dia lahir dari dua budak Sahabat yang telah merdeka. Ayahnya, Sirrin adalah budak Anas Bin Malik. Sedang ibunya, Shafiyah, adalah budak Abu Bakar.

Pernikahan ayah dan ibunya, penuh berkah, dihadiri tiga istri Nabi dan 18 Sahabat yang pernah ikut perang Badar. Ibnu Sirrin lahir pada masa akhir kekhalifahan Umar Bin Khatab.

Di Basrah itu, Ibnu Sirrin bertugas sebagai Juru tulis mantan tuan ayahnya, Anas bin Malik ra, sang Pelayan Rasulullah. Setelah beliau wafat, Ibnu Sirrin melanjutkan hidup sebagai pedagang kain, yang kurang berhasil, selain mengajar.

"Tak usah kau bingung dengan mimpimu. Makna mimpi itu…" tanpa basa - basi Ibnu Sirrin menerangkan ketika orang yang bermimpi hadir di hadapannya,

"engkau telanjang, karena engkau sejatinya memang seorang yang zuhud. Engkau melihat dirimu berada di kandang ternak, karena mata batinmu telah menyibak keadaan dunia yang fana ini. Sedang tongkat yang engkau buat, adalah perlambang hikmah perkataanmu yang bermanfaat bagi banyak orang"

Tiap kalimat Ibnu Sirrin ditanggapi dengan anggukan orang yang bermimpi. Ta'wil mimpi itu berhasil mempetakan keadaan diri sang pemimpi. Bukan meramal masa depan. Apa yang dia katakan, berasal dari Al Quran dan Sunnah yang telah dia pelajari dari kecil.

"Tapi, bagaimana engkau tahu, kalau yang bermimpi itu aku?" Ibnu Sirrin menegakkan kepala, mengangkat alis, lalu tertawa jenaka.

"Siapakah lagi yang pantas Allah beri mimpi yang demikian wahai Hasan?"

Sejak saat itu Hasan Al Basri dan Ibnu Sirrin menjadi sahabat karib. Keduanya sama - sama lahir di Madinah. Sama pula Allah tentukan menjadi matahari ilmu di Basrah.

Keduanya pula saling paham kelebihan masing - masing. Hasan Al Basri dengan sikap zuhud dan khutbah - khutbahnya yang disanjung bernilai sastra tinggi. Ibnu Sirrin dengan wara' dan pemahamannya akan Fiqih yang luar biasa.

Namun masing - masing merasa segan untuk saling tegur sapa. Hasan Al Basri bahkan memberikan penilaian pada Ibnu Sirrin "dia yang berjalan dengan lagak sombong di hadapanku".

Lantas Allah temukan keduanya dalam keakraban, lewat mimpi yang benar, dan ta'wil yang lurus pula.

Menjelang wafatnya, Ibnu Sirin bermimpi melihat bintang al-jauza mendahului bintang tsurayya. Kemudian ia berwasiat. Dan berkata, “al-Hasan al-Bashri akan wafat. Kemudian aku. Dan dia lebih mulia dariku.”

Ibnu Sirrin wafat pada hari jum'at, 9 Hari selepas Idul Fitri tahun 110 Hijriah. Menyusul teman karibnya, Hasan Al Basri yang meninggal seratus hari sebelumnya.

Penulis: Agus Kurniawan
Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Ketapang

Lebih baru Lebih lama
.



.