NU KETAPANG - Jika pernah membaca koran harian
Pontianak Post terbitan Minggu, 17 Oktober
2010, pasangan suami istri
bernama Yusuf Waluyo dan Lusia Lilik Hastutiani yang beda agama telah
melangsungkan pernikahan di Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Pernikahan itu dilaksanakan pada tanggal 10-10-2010, dipimpin
sendiri oleh penghulu penghayat yang sekaligus Ketua Umum HPK bernama Sudijono. Menurutnya, lembaga yang beliau pimpin itu sudah terakreditasi dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwista (dulu
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sejak tahun 1980.
Dengan suara berbisik
dan bahasa Jawa kromo inggil yang diucapkan dengan cepat. Pernikahan ini tidak
memerlukan saksi, wali dan maskawin. Sebenarnya Yusuf berasal dari keluarga
muslim sementara Lilik menganut Katolik. Keduanya melangsungkan pernikahan melalui
ritual kepercayaan HPK hanya supaya diakui negara dan sebagai upaya mediasi
adanya kepastian hukum.
Yusuf mengaku terpaksa
menempuh cara itu karena negara tidak memberikan jaminan terhadap orang yang
berbeda keyakinan dalam menikah sehingga banyak orang akhirnya mengorbankan
salah satu keyakinannya. Menurut Yusuf, seharusnya UU Perkawinan direvisi karena UUD 1945 sudah menjamin sepenunya
hak warga negara untuk menganut keyakinan atau agama apapun. Namun UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya mengatur satu agama, satu keyakinan. Belum
ada ruang untuk mengakomodasi perkawinan beda agama. Ruang itu begitu sempit
sehingga berpotensi terjadinya pemaksaan kehendak.
Kasus perkawinan
sepasang suami istri sebagaimana dipaparkan di atas telah memberikan inspirasi
penulis untuk membuat tulisan ini. Bagaimana sesungguhnya UU Pekawinan Nomor 1
Tahun 1974 dan Fiqih Munakahat yang berlaku di negeri ini memandang pernikahan
beda agama.
UU Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan merupakan
institusi agung untuk mengikat dua insan yang berlainan jenis dalam suatu
ikatan keluarga. Secara sederhana perkawinan dapat dipahami sebagai jalan untuk
melegalkan dalam memenuhi hajat biologis atau persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan ajaran agama yang dianutnya atau menurut kepercayaan
sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam penjelasan UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa sebagai Negara yang berdasar Pancasila,
dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yanga Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani
juga mempunyai peranan penting.
Menurut pasal 2 ayat 2
UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang
ini.
UU Perkawinan yang
berlaku di Indonesia pada dasarnya telah memberikan batasan dan ukuran yang
jelas, terutama dalam hal
bagaimana menyikapi perkawinan beda agama, hal ini merupakan gambaran bahwa
hukum perkawinan sebagaimana dalam UU Nmor 1 Tahun 1974 telah mengakomodir dan
menghargai dari setiap golongan agama dan penganut kepercayaan mengenai
ketentuan yang diajarkan masing-masing agama dan penganut kepercayaan yang
diakui Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu sikap konsistensi bagi pemeluk
agama sesungguhnya menjadi landasan utama untuk patuh terhadap
ketentuan-ketentuan ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Jika melihat kasus
yang dialami Yusuf di atas sehingga dengan keterpakasaannya menempuh cara
melaksanakan akad nikah di HPK, karena menurutnya negara tidak memberikan jaminan terhadap orang yang
berbeda keyakinan dalam menikah sehingga banyak orang akhirnya mengorbankan
salah satu keyakinannya.
Penulis melihat bahwa
persoalan tersebut sebenarnya bukan pada konteks sebagaimana yang disangkakan
oleh Yusuf di atas sehingga mereka harus melaksanakan perkawinan di HPK. Akan
tetapi titik persoalannya adalah ketentuan agamalah yang memberikan aturan
dengan tidak dibolehkannya perkawinan beda agama, sebab itu menjadi konsekuensi
logis untuk mentaati aturan agama ketika dirinya menyatakan bahwa ia adalah
bagian dari penganut agama yang diyakininya.
Dalam UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara detail dan rinci mengenai hukum
masing-masing agama dan penganut kepercayaan. Oleh karena itu kata “sah”
menurut pasal 2 ayat 2 dalam UU tersebut ukurannya bukan terletak pada
diakomodasi atau tidaknya perkawinan beda agama oleh UU Perkawinan, akan tetapi
“sah” yang dimaksud adalah apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan penganut kepercayaan itu.
Penulis memandang
kasus pernikahan Yusuf Waluyo dan Lusia Lilik Hastutiani yang beda agama adalah
tidak lebih dari sekedar agar perkawinannya bisa tercatat dan supaya adanya kepastian
hukum dari sisi hukum positif. Sementara dari sisi hukum agama belumlah dapat
dikatagorikan bahwa perkawinannya adalah sah, selama agama dan kepercayaan yang
diyakininya tidak memberikan legitimasi untuk diperbolehkannya perkawinan beda
agama. Apalagi prosesi akad nikah yang dilangsungkan keduanya sedikitpun sama
sekali tidak menyentuh nilai-nilai atau ajaran agama yang diyakini kedua
pasangan ini. Persoalannya barangkali menjadi lain jika keduanya berkometmen
untuk meninggalkan atau keluar dari agama yang dianut sebelumnya.
Fiqih Munakahat (Hukum
Islam)
Islam memandang
perkawinan atau pernikahan tidak hanya dipahami sebagai jalan untuk melegalkan
untuk memenuhi hajat biologis atau hubungan seksual semata, akan tetapi
perkawinan juga mempunyai makna yang demikian luas dan mendalam. Dalam Islam
pernikahan dimaknai sebagai bagian ibadah dan bentuk kepatuhan pada sunnah
Rasul.
KH. A. Sahal Mahfudz
Rois Aam PBNU dalam bukunya “Pesantren Mencari Makna” memandang
bahwa pernikahan tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis. Menikah
adalah sunnah Rasul. Karenanya menikah termasuk salah satu bentuk ibadah. Dalam
konteks ini, menyetubuhi istri dihitung sebagai perbuatan yang mendapatkan
pahala. Barangkali persetubuhan lewat pernikahan inilah satu-satunya ibadah
yang sesuai dengan tuntunan hawa nafsu manusia. (Sumber : M. Cholil Nafis dan
Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah Terapan Fiqih Sosial Kiai Sahal,
Jakarta : Mitra Abadi Press, Cet. 2 , 2010).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 2 menyatakan,
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Selanjutnya pada pasal 3 disebutkan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Dalam pasal 4 dinyatakan pula bahwa Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam.
Menurut syari’at Islam
bahwa perbedaan agama merupakan salah satu sebab dilarangnya pernikahan untuk
dilangsungkan. Hal ini sejalan pula dengan pendapat DR. Yusuf Qardhawi dalam
bukunya “Halal Haram dalam Islam” yaitu diharamkannya menikahi
perempuan musyrik, yaitu perempuan yang menyembah berhala, seperti kaum
musyrikin Arab dan sejenisnya.
Dapat dipahami bahwa
tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Dalam hubungan ini perkawinan yang beda agama
sudah barang tentu tidak akan menjamin terwujudnya tujuan perkawinan
sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu hukum Islam telah menggariskan
secara jelas sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur’an dan hadits antara lain dilarang kawin dengan
wanita musyrik dan dilarang wanita Islam dengan pria musyrik (QS.Al-Baqarah:
221).
Hukum Islam
membenarkan seorang pria kawin dengan seorang ahli kitab. Pendapat demikian
dipertegas pula oleh DR. Yusuf Qardhawi bahwa Al-Qur’an memperbolehkan menikah
dengan perempuan-perempuan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani (QS.
Al-Maidah : 5). Hal ini menyesuaikan dengan pandangan dan perlakuan khusus
Al-Qur’an terhadap mereka, disamping karena statusnya mereka sebagai pemeluk
agama samawi (wahyu).
Namun demikian Yusuf
Qordhawi memberikan catatan penting, bahwa sesungguhnya perempuan muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh
dengan agamanya, tentu lebih utama
dibandingkan dengan seorang muslimah yang hanya mewarisi keislamannya dari
kedua orang tuanya. Demikian pula terhadap ahli kitab, beliau memandang bahwa seorang muslimah, bagaimanapun
kondisinya, tetap lebih utama bagi seorang muslim dibanding dengan perempuan
ahli kitab, apalagi jika dikhawatirkan akan aqidah anak-anaknya dengan
keberadaan dan arahan istri semacam itu, ia harus berfikir untuk mengamankan
agamanya dan menjauhi bahaya itu lebih dahulu.
Pengertian wanita ahli
kitab, sebenarnya masih
menjadi masalah dan belum ada kesepakatan yang bulat diantara para ulama, yaitu
apakah wanita yang beragama Kristen dan Katholik sekarang ini dapat
dikatagorikan sebagaimana wanita ahli kitab yang dimaksud oleh Al-Qur’an Surat
Al-Maidah ayat 5. Kalau jawabannya “ya”, maka mereka dapat dikawinkan dengan
cara Islam tentunya. Tetapi apabila jawabannya “tidak” maka mereka jelas haram
untuk dinikahi.
Ibrahim Hosen dalam
bukunya “Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan” tahun 2003, menulis bahwa menurut qaul
mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, perempuan ahli kitab yang halal dinikahi
oleh orang muslim ialah perempuan yang menganut agama Nasrani atau Yahudi
sebagai agama keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut
agama tersebut semenjak sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul (yakni,
sebelum Al-Qur’an diturunkan). Tegasnya, orang yang baru menganut agama Nasrani
atau Yahudi sesudah Al-Qur’an diturunkan, mereka ini tidaklah dianggap ahli
kitab, karena terdapat perkataan “min qablikum” (dari masa sebelum kamu)
pada surah Al-Maidah ayat 5. Jalan fikiran mazhab Syafi’i ini mengakui bahwa
ahli kitab itu bukan karena agamanya, melainkan karena menghormati asal
keturunannya.
Kalau diterapkan di
Indonesia, orang-orang yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sesudah turunnya
Al-Qur’an tidaklah termasuk ke dalam hukum ahli kitab. Sebab itu tidak halal
bagi orang Muslim menikahi perempuan-perempuan seperti itu; demikian juga,
memakan makanan yang disembelih oleh mereka. Demikian menurut qaul mu’tamad dalam
mazhab Syafi’i yang sejalan dengan kebanyakan para ulama fiqih (Sumber :
Pedoman Penghulu, Dirjend Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2005).
Dalam KHI, sebagai Fiqih Indonesia yang disusun oleh para Ulama-Ulama dan Cendikiawan
Muslim se-Indonesia dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia,
maka dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang peria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam (pasal 40 huruf c) dan seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
(pasal 44).
Perkawinan Yusuf
Waluyo yang beragama Islam dan Lusia Lilik Hastutiani yang beragama Katholik
jika merujuk kepada hukum Islam sebagaiamana pendapat yang dikemukakan Yusuf
Qordhowi di atas maka perkawinannya dapat dibenarkan tanpa harus melangsungkan
pernikahan di HPK, dengan catatan, jika Lusia yang beragama Katholik statusnya bisa disamakan dengan ahli
kitab. Artinya bahwa mereka dapat dikawinkan dengan cara Islam tanpa harus
meninggalkan agama yang dianut oleh Lusia Lilik Hastutiani. Namun sebaliknya
jika statusnya Lusia tidak bisa disamakan dengan ahli kitab sebagaimana qaul
mu’tamad dalam mazhab Syafi’i yang sejalan dengan kebanyakan para ulama
fiqih, maka perkawinan Yusuf adalah haram menurut Islam.
Sementara menurut KHI
tetap tidak ada toleransi untuk dibolehkannya perkawinan beda agama sebagaimana
ketentuan pasal 40 (c) dan pasal 44, apalagi untuk mendapatkan legitimasi dan
kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
karena UU atau KHI sendiri tidak mempunyai kewenangan mengatur lebih jauh dan
mengubah ketentuan hukum-hukum agama yang telah disyari’atkan bagi pemeluknya.
Penulis: M.
Syafi’ie Huddin
Wakil Ketua
PCNU Ketapang
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Majalah
Harmoni Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Barat, No. 30/Th./2011.