Sambut Tahun Baru Islam, NU Ketapang Gelar Istighosah dan Refleksi Akhir Tahun


NU KETAPANG - Menyambut pergantian tahun baru Islam 1 Muharram 1443 Hijriyah, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Ketapang adakan Istighosah dan Refleksi Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah, Senin (09/08) malam.


Acara digelar di Sekretariat PCNU Ketapang dihadiri Rais Syuriyah PCNU Ketapang KH. Moh. Faisol Maksum dan Ketua Tanfidziah H. Satuki Huddin. Kegiatan dengan peserta terbatas dan protokol kesehatan ini juga dihadiri beberapa jajaran pengurus harian,  lembaga dan ketua Banom.


Mengangkat tema Menggapai Hidayah Untuk Keselamatan Bangsa, acara dimulai pembacaan istighosah berlangsung hikmat. Istighosah dipimpin Ketua Lembaga Dakwah NU Ketapang Ust. Surya Abdillah didahului dengan tawasul sebagai pembuka oleh Rais Syuriyah.


Baca juga:


Sekretaris PCNU Ketapang H. Zulkarnain sebagai pemandu acara mengatakan, istighosah dan refleksi akhir tahun yang diadakan dalam rangka sebagai ikhtiar untuk memohon pertolongan Allah atas berbagai musibah dan cobaan bangsa ini.




"Ditengah wabah covid-19 yang masih melanda negeri ini, tak terkecuali juga di daerah Ketapang, tentu upaya pencegahan yang harus diupayakan tidak hanya secara lahiriah atau pengamanan fisik saja. Tapi perlu adanya pendekatan rohani sebagai ikhtiar batiniah dengan berdoa kepada Allah SWT." Katanya.


Dikatakan Zulkarnain, pergantian tahun baru Islam menjadi momentum untuk bersama-sama berintrospeksi diri dan berhijrah kepada yang lebih positif dalam berbagai aspek, baik dalam konteks ibadah, sosial, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 


Baca juga:


Usai pembacaan Istighosah, acara dilanjutkan dengan penyampaian tausiyah Refleksi Tahun Baru Islam oleh Kyai Faisol. 


Pada kesempatan itu, Kyai Faisol membicarakan pembagian bulan haram dan keutamaannya. Satu diantara keempat bulan itu ialah keutamaan bulan Muharram sebagai awal bulan tahun Hijriyah.




Hubungan antara agama dan negara juga tidak luput dari sorotan Ketua Umum MUI Kabupaten Ketapang ini. Beliau menegaskan komitmen NU menyikapi hubungan antara keduanya adalah sebagai persinggungan, bukan penyatuan atau pemisahan.


Menurutnya, dalam praktik kehidupan kenegaraan, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, integrated (penyatuan antara agama dan negara). Kedua, intersectional (persinggungan antara agama dan negara). Dan ketiga, sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.


Baca juga:


Dikatakan, dari ketiga bentuk di atas, para pendiri bangsa ini justru memilih alternatif bentuk kedua. Pilihan itu adalah lebih pantas dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri bermacam-macam suku dan agama. 


"Bangsa ini telah menjadikan agama dan negara sebagai persinggungan, bukan sebagai penyatuan antara keduanya, atau tidak juga sebagai pemisah antara agama dan negara." Tegas Pengasuh PP. Al-Gufron Ketapang.


"Oleh karena itu para pendiri bangsa ini tidak bersepakat untuk menjadikan bangsa ini sebagai negara agama atau Darul Islam, tapi mereka memilih negara ini menjadi Darussalam (Negeri yang damai). Dalam lintasan sejarah bangsa ini, membangun Darul Islam tidak pernah berhasil mewujudkan." Katanya. (anuk).


Lebih baru Lebih lama
.



.