Al-Ghazali ; Pemikir Besar Abad V H. (Biografi Al-Ghazali)


NU KETAPANG - Hamid bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad  Al-Ghazali At-Thusi atau yang lazim disebut Imam Al-Ghazali dilahirkan di kota kecil Thus di Khurasan Persia (Iran) pada tahun 450 H atau 1058 M.

Al-Ghazali kadang-kadang ditulis dengan dobel Z : Al-Ghazzali, berasal dari kata ghazzal yang artinya tukang pintal, karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol. Para penulis Barat (Jamil Ahmad, 1987 : 97) menulis dengan Algazcal. Sedang Al-Ghazali (dengan satu z), diambil dari kata ghazalah, nama sebuah desa kelahiran Al-Ghazali. Sebutan terakhir inilah yang banyak dipakai. Demikian pula dalam risalah ini.

Ayahnya adalah seorang sufi saleh yang buta huruf, meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan saudaranya masih kecil. Ia dibimbing oleh seorang syeikh di Thus yakni Ahmad bin Muhammad Al-Radzikani. Kemudian oleh Syeikh Abu Nashr Al-Ismaili di Jurjan. Tiga tahun kemudian ia belajar ilmu agama kepada ulama besar Imam Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini di Naisabur, sampai kewafatan Al-Juwaini pada tahun 478 H atau 1086 M.

Al-Juwaini semasa hidupnya pernah memberi gelar kepada Al-Ghazali dengan “bahrun mughriq” atau lautan yang menenggelamkan, karena kecemerlangan, ketajaman dan kejernihan penalarannya terhadap sesuatu. Setelah Al-Juwaini wafat, ia meninggalkan Naisabur menuju Muaskar untuk menemui Nizhamul Mulk Wazir Sultan Maliksyah Al-Saljuqi.

Keikutsertaan Al-Ghazali dalam beberapa diskusi bersama sekelompok ulama dan para cendekiawan di hadapan Nizhamul Mulk membawa kecemerlangan namanya. Yang demikian itu berkat ketinggian filsafat, kefasihan lidah serta ketepatan argumentasinya. Karena itulah ia mendapatkan penghormatan yang besar sehingga tinggal di sana selama lima tahun lamanya. Nizhamul Mulk kemudian memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengajar di Universitas Nizhamiyah di Baghdad pada tahun 483 H. Menurut Al-Abrasyi (1987 : 80), universitas ini didirikan sejak tahun 495 H, perkembangan selanjutnya didirikan di Balakin Naisabur, Heral, Asfahan, Basrah, Marwa, Amal dan Maosul.

Selama di Baghdad selain mengajar Al-Ghazali juga aktif dalam kegiatan-kegiatan diskusi dengan golongan-golongan yang tidak sefaham dengannya. Di sela-sela kesibukannya sebagai Guru Besar dan ilmuwan itu, ia sempat menulis beberapa buah karyanya antara lain Al-Basith, Al-Wasith, Al-Qajiz, Khulashoh Ilmu Fiqh dan lain-lain.

Selama itu ia ditimpa keragu-raguan tentang kemanfaatan pekerjaannya, sehingga Al-Ghazali menderita penyakit yang tidak bisa diobati. Maka ia memutuskan untuk beruzlah, meninggalkan pangkat, harta, keluarga dan sahabat. Ia pergi ke Syam pada bulan Dzulqo’dah 488 H. Hidup dengan berpindah-pindah antara Damaskus, Baitul Maqdis, Makkah dan Madinah kurang lebih dua tahun, dimana tidak ada kesibukan lain kecuali uzlah khalwat, riyadhoh dan mujahadah untuk mensucikan diri, melatih dalam memurnikan hati untuk berzikir kepada Allah.

Setelah beberapa lama berada di Baitul Maqdis, tergerak batinnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia mengembara ke Hijaz, dalam perjalanan ia menerima khabar dari keluarganya agar menengoknya. Akhirnya ia kembali ke Baghdad pada tahun 492 H, padahal semula ia memutuskan tidak akan kembali untuk selama-lamanya. Tetapi keinginannya untuk mensucikan diri tetap kuat.

“Namun demikian aku tidak akan membatalkan keinginan untuk berkhalwat serta membersihkan hati sehingga demi mencapai keinginan itu, aku harus menghadapi rintangan. Keadaan seperti itu berlangsung sampai sepuluh tahun” (Al-Munqidz Minadh Dhalal, terjemahan Sunarto, 1986 : 54).

Menurut Hasan Langgulung (1986 : 129) sejarawan berselisih pendapat tentang tempat-tempat yang dilewati dalam pengembaraan selama sepuluh tahun itu. Besar kemungkinan masa itu terhitung semenjak ia ke Baghdad, lalu Damaskus, Yerussalem, tempat-tempat suci sampai kembali lagi ke Thus. Pada masa itulah Al-Ghazali menulis kitab-kitab antara lain karya agungnya Ihya Ulumuddin.

Pada bulan Dzulqo’dah 499 H, karena ada desakan penguasa pada masa itu maka Al-Ghazali kembali mengajar di Nizhamiyah Naisabur sampai tahun 503 H. kemudian ia kembali ke Thus, kota kelahirannya. Di sana mendirikan majelis untuk para fuqaha dan mutasawwifin. Maka di sanalah ia wafat, tepatnya waktu subuh hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 1111 M dalam usia 55 tahun (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Syarah Bidayah Al-Hidayah : tt). Menurut Hasan Langgulung (1986 : 129) tanggal 12 pada bulan dan tahun yang sama seperti di atas.

Demikianlah riwayat singkat kehidupan Al-Ghazali dalam siklus purna, dilahirkan di Thus lalu kembali ke Thus setelah melakukan pengembaraan fisik dan pengembaraan spiritual dan akhirnya wafat di Thus juga. Kehidupannya dimulai dari seorang murid yang cerdas, kemudian menjadi seorang pengajar, penasehat sultan dan seorang sufi.

Sejarah Kehidupan Pemikirannya
Pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Al-Ghazali tidak dapat dipisahkan dengan sejarah hidupnya dari seorang manusia biasa, murid dari beberapa ulama besar sampai menjadi seorang mu’allim dan mursyid serta filosof dan sufi besar yang namanya tetap cemerlang sepanjang perkembangan pemikiran manusia dari masa ke masa.

Al-Ghazali hidup pada abad V H, masa di mana telah berkembang aliran dan paham keagamaan serta aspirasi pemikiran yang saling berlawanan yang lahir sejak abad IV H. dari satu sisi berkembang tasawuf yang hanya mementingkan kesucian batin dan golongan fiqhiyah yang mementingkan lahiriyah semata. Sementara itu perkembangan ilmu kalam menghantarkan mereka pada suatu perdebatan panjang, bahkan saling mengkafirkan. Justeru pada saat itulah Al-Ghazali lahir, lalu ia mempertemukan mereka dalam satu i’tikad, menghilangkan keragu-raguan kaum muslimin dalam menghadapi perubahan dan perkembangan yang terjadi.

Kemampuan Al-Ghazali dalam mempertemukan beberapa golongan yang berlawanan itu rupanya menarik perhatian DR. Zwemmer, seorang pendeta Protestan; ia mengatakan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW ada dua orang besar yang berjasa dalam membangun agamanya pada derajat yang tinggi. Dua orang itu adalah Imam Al-Buchari dan Imam Al-Ghazali (Hamka, 1984 : 132).

Yang menarik perhatian terhadap sejarah kehidupan pemikiran Al-Ghazali adalah kehausan akan segala macam pengetahuan, kecuali yang bersifat indrawi dan pengetahuan yang aksioma. Akan tetapi akhirnya terhadap kedua macam pengetahuan inipun ia tidak mempercayainya pula. Ia melukiskan keragu-raguannya itu dalam Kitab Al-Munqidz Minadz Dzolal.

Kitab tersebut pada intinya berisi tentang sejarah hidup pengembaraan pemikirannya, keragu-raguan proses pencarian serta perenungan dalam mengarungi lautan ma’rifat (Hamka, 1984 : 135). Di dalamnya ia lukiskan betapa berat perjuangannya dalam mempelajari berbagai macam aliran, paham dan keyakinan pada masa itu, membawanya pada kegoncangan pemikiran.

Selanjutnya ia mengadakan penelitian terus menerus dibalik ilmu pengetahuan sejati (ilmul yaqin). Al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa dalam ilmu-ilmu pengetahuannya itu tidak ada yang dapat memenuhi maksud hatinya, kecuali hanya memuaskan indra dan akal saja. Bahkan pada saat perenungannya ia pun menjumpai ilmu pengetahuan itu justeru menyesatkan. Kemudian ia berjalan di atas keragu-raguan sedang keragu-raguan itu sendiri bisa hilang dengan suatu dalil, dalil baru bisa dibuat dengan penyusunan alasan dan pikiran-pikiran aksioma. Pikiran aksioma inipun tidak pula dipercayainya.

Finishing pengembaraan pemikirannya, al-Ghazali menemukan suatu keyakinan yang bukan di dapat dari berbagai dalil yang tersusun rapih, akan tetapi berkat “nur Ilahi” dalam dadanya, menurut pengalamannya nur itu sendiri merupakan kunci semua orang yang telah memiliki ilmu ma’rifat. Dari nur itu seyogianya seseorang mencari Al-Kasyf, sebab nur itu tersembur dari kemurahan ilahi dan seseorang harus bermujahadah untuk mendapatkannya.

Tentang nur itu, Al-Ghazali telah menulis kitab khusus yakni Misykatul Anwar. Risalah itu memuat tafsiran sufistiknya atas surah A-Nur ayat 31 yang dianggap sebagai “tema sentral” tasawufnya. Oleh para ahli ditempatkan pada maqam tertinggi di antara karya tasawuf Al-Ghazali yang lainnya dan magnum opus sufi-sufi besar seperti fushulul hikam, futuhat al-Makiyah karya Ibnu Al-Araby, Insan al-Kamil karya Al-Jairi dan beberapa masterpiece lain dalam tasawuf.

Khulashoh
Penulis berpendapat, salah satu karya Al-Ghazali yang dapat djadikan pijakan untuk mengetahui dan memahami pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya, ialah Kitab Al-Munqidz Minadz Dzolal, dengan pertimbangan bahwa :
1. Kitab tersebut berisi sejarah hidup pribadinya (autobiografi) metode penyusunannya banyak diikuti oleh para penulis dan ilmuwan lain,
2. Kitab tersebut berisi pengembaraan, pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya. Pokok-pokok pikiran, kritik serta bantahan terhadap suatu masalah yang telah dan sedang berkembang saat itu.
3. Di dalamnya ia sebutkan pula beberapa karya lainnya, sebagai jawaban atas kritikan yang ditujukan kepadanya atas suatu masalah tertentu.
Pada akhirnya haruslah diakui bahwa untuk memahami esensi pemikiran Al-Ghazali itu bukanlah hal yang mudah, sebab disamping harus disertai kemampuan khusus, karya-karya Al-Ghazali yang tersebar dalam puluhan  dan ratusan juga ketinggian dari pokok masalah yang dibahasnya. Adapun sebagai pengantar untuk memahami esensi pemikiran Al-Ghazali dapat melalui kajian tulisan para komentator (pen-syarah). Namun upaya inipun terkadang tidak mendapatkan hasil maksimal, tidak mencerminkan gambaran utuh esensi pemikiran Al-Ghazali, malah justeru menyimpang dari yang sesungguhnya ***
Wallahu A’lam

Referensi
1. Al-Ghazali, Al-Munqidz Minadz Dzolal (terjemahan Sunarto), Bintang Pelajar, Gresik 1986
2. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987
3. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Al-Husna, Jakarta, 1986
4. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Panjimas, Jakarta, 1984
5. Jamil Ahmad,  100 Muslim Terkemuka, Firdaus, Jakarta, 1987
6. Muhammad Nawawi Al-Jawi, Syarah Bidayah Al-Hidayah, Al-Halaby, Mesir, tt

Penulis: Muhammad Nashir Syam, M.Pd.I.
Waakil Sekretaris PCNU Kabupaten Ketapang

(Pernah dimuat pada Majalah Media Pembinaan No. 11/Th.XXVII-Februari 2001)

Lebih baru Lebih lama
.



.